Suatu ketika, biawak sialan itu kembali menyergap dalam kolam. Entah saat itu Kak Mala sedang istirahat dalam gubuk.
Seekor nila terluka dengan dua goresan di tubuhnya. Dua hari berikutnya, dia sudah mati mengapung karena trauma dan menderita. Enggan menyantap makanannya, ususnya tak terisi sedikitpun.
Kematian ikan nila masih berlanjut. Kali ini Kak Mala memergoki pada suatu siang. Biawak itu lari tunggang langgang, ikan nila yang digigitnya terlepas, disambut cengkeraman kucing jantan tanpa ampun.Â
Kak Mala berusaha merebutnya, tapi ikan itu telah kehilangan nyawa. Sebelah matanya tercungkil, dan mukanya hilang sepotong.Â
Hati Kak Mala hancur begitu rupa. Ikan di tangannya, dadanya terburai dan kantong telur calon anak-anak nila terlihat. Kak Mala sedih, calon ibu ikan nila mati percuma karena dimangsa.
Ini bukan tentang rantai makanan. Sama sekali bukan.
Kak Mala stres dan terpukul. Dia ingat calon suaminya yang juga meregang nyawa sebagai korban begal. Dulu.
Kenangan buruk itu memasungnya sekali lagi. Sebaliknya, biawak semakin leluasa memangsa ikan-ikan nila, tanpa peduli, tanpa belas kasihan.
***
Kota Kayu, 6 Agustus 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana