Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karena Kopi Saja?

31 Januari 2022   07:28 Diperbarui: 31 Januari 2022   07:34 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Karena Kopi saja?|foto: thespruceeats.com

Orang bisa melakukan apa saja, saat kemarahan menguasai hati. Penyidik kepolisian menyebutnya dendam. Padahal Maya cuma ingin meninggalkan lingkaran itu. Sebuah kehidupan yang menginjak-injak harga dirinya.

"Bagaimana watak Adrian sebagai suami?" tanya penyidik wanita Sepertinya bukan polisi, entah apa.

"Lembut, tetapi kasar!"

"Maksudnya lembut?" tanya wanita itu lagi.

*

Maya memang tidak lupa, lima belas tahun ia menikah dengan lelaki macam Adrian, seperti membuka buku kenangan yang cukup tebal. 

Perempuan itu akan menemukan kisah demi kisah, lalu senyum bahagianya akan menjelma genangan air mata.

Saat ia jatuh cinta pada lelaki yang dianggapnya baik itu, Adrian memang menunjukkan sikap ksatria dan penyayang. 

Saat mereka sedang jalan-jalan dan bertemu kelompok gelandangan yang berusaha usil, Adrian berusaha sekuat tenaga melawan mereka. Itu untuk melindungi Maya.

Atau saat adik Maya membutuhkan biaya operasi usus buntu, lelaki yang kemudian menjadi suaminya itu, rela menjual mobil kesayangannya bertukar dengan mobil biasa saja.

Barulah setelah mereka terikat dalam pernikahan, Maya tahu sifat asli suaminya.

Selain cemburu buta, Adrian juga malas bekerja. Ada-ada saja alasan untuk menambah hari libur. Dan tak terlalu peduli dengan sisa gaji yang diterima istrinya, cukup atau tidak.

Saat mereka memiliki anak pertama, Maya dan Adrian sudah sering bertengkar. Masalahnya tak jauh-jauh dari sikap egois lelaki itu. Sering meninggalkan keluarga kecilnya, dan memilih kongko-kongko dengan teman lama.

Kadang Maya berpikir, apakah suaminya merasa bosan, ataukah menyesal dengan pernikahan ini? Tapi bagaimana bisa. Bukankah mereka dulu saling mencintai?

Begitulah. Panas dan hujan datang silih berganti. Maya berusaha bersabar demi mempertahankan pernikahan mereka. Di lain pihak, Adrian berusaha menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah dari putra-putri mereka. Mengurangi keluar rumah atau bolos kerja.

Sampai pada suatu saat, pahitnya rasa kopi mengusik senyum paling manis milik Maya. Adrian meruntuhkan harga diri istrinya sendiri. Maya merasakannya bagai gedung yang diledakkan dengan bom berkekuatan nuklir!

*

Penyidik wanita itu menatap Maya dalam.

"Ibu yakin tidak menyimpan dendam apapun pada korban?" tanya wanita itu.

Maya cepat menggeleng. Wajahnya seribu persen tampak serius.

"Dimana Ibu mendapatkan racun mematikan seperti itu?"

Maya memutar ingatan. Tentang hari terakhirnya menjadi istri Adrian.

Ia menarik gelas dari rak kecil di atas meja dapur. Kesal. Adrian terbangun persis saat kedua anaknya sedang ia buatkan sarapan. Seceplok telur ayam kampung, roti bakar tanpa irisan tomat apalagi selada. Cuma sedikit lelehan mayones pedas kesukaan mereka.

Lelaki itu berdiri di belakang punggung istrinya. Daster katun bercorak bunga yang dipakainya, tersentuh begitu saja. Menghantarkan ilusi tentang pelukan pagi hari. 

Maya kemudian sadar, kepalanya banyak dipenuhi khayalan. Mereka tidak melakukan apa-apa semalam. Mana mungkin sisa kemesraan itu menjerembab ke hatinya.

"Kenapa harus begitu lama membuat segelas kopi, May?" suara ketus Adrian mencampakkan ketersadarannya ke dunia nyata. Tersinggung.

"Apa maksud, Ayah?" Maya berusaha membela diri. 

Sudah sering, selama pernikahan mereka. Bahkan buku kenangan itu menulisnya dengan lengkap.

Adrian tak suka kopi yang terlalu panas. Maya sudah diberitahu saat mereka baru saja menjadi suami istri. Ia ingin lima belas persen adalah air dingin biasa.

Adrian juga tak suka kopi yang terlalu dingin. Saat istrinya membangunkan Adrian untuk bekerja, lelaki itu biasanya kembali tidur saat Maya keluar kamar. 

Saat kelima kalinya Maya datang, kopi itu pernah menjadi terlalu dingin dan menjengkelkan untuk diminum. Tapi Maya jauh lebih kesal karena harus memanaskan lagi, dan tidak boleh mencapai titik didih!

Masih ada lagi. Adrian tak suka kopi yang encer. Bikin sakit kepala. Harus dua sendok penuh dan gula satu sendok untuk gelas tanpa tangkai di rumah mereka.

Bahkan tentang merk kopi, lelaki itu tak sudi Maya membeli selain kopi andalannya. Sekalipun harganya naik dua ribu lima ratus per kemasan, atau stok retail sedang kosong. 

Lama-lama Maya jadi sakit kepala. 

Sudah sering ia berkhayal tentang segelas kopi yang ia lempar ke wajah Adrian, agar sakit hatinya terbayar. Atau paling tidak sedikit garam untuk mengerjai lelaki itu.

Ah, tidak. Suaminya pasti akan menyemburkan kopi dari mulutnya ke lantai. Karpet di ruangan itu pasti akan dipenuhi noda kopi. Maya harus mencari cara lain.

*

"Siapa yang sudah membantu Anda, atau memberikan ide racun ini?" kali ini penyidik bertubuh tambun yang memelototinya.

"Ini ide saya, Pak. Sama sekali tidak ada orang yang membantu saya. Saya tidak pernah menceritakan masalah rumah tangga kami pada siapapun," tandas perempuan itu dengan suara mantap.

Ia heran, mengapa tidak ada orang yang percaya jika kematian Adrian hanya karena kopi saja. Kopi yang sudah mengalahkan harga dirinya yang pernah diminta secara baik-baik dari almarhum Abah. 

Maya merasa tak cukup pantas menikmati pahitnya rasa kopi. Sedang untuk bercerai, suaminya tak pernah setuju melepas wanita lugu sepertinya.

SELESAI

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

Kota Tepian, 31 Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun