Bahkan tentang merk kopi, lelaki itu tak sudi Maya membeli selain kopi andalannya. Sekalipun harganya naik dua ribu lima ratus per kemasan, atau stok retail sedang kosong.Â
Lama-lama Maya jadi sakit kepala.Â
Sudah sering ia berkhayal tentang segelas kopi yang ia lempar ke wajah Adrian, agar sakit hatinya terbayar. Atau paling tidak sedikit garam untuk mengerjai lelaki itu.
Ah, tidak. Suaminya pasti akan menyemburkan kopi dari mulutnya ke lantai. Karpet di ruangan itu pasti akan dipenuhi noda kopi. Maya harus mencari cara lain.
*
"Siapa yang sudah membantu Anda, atau memberikan ide racun ini?" kali ini penyidik bertubuh tambun yang memelototinya.
"Ini ide saya, Pak. Sama sekali tidak ada orang yang membantu saya. Saya tidak pernah menceritakan masalah rumah tangga kami pada siapapun," tandas perempuan itu dengan suara mantap.
Ia heran, mengapa tidak ada orang yang percaya jika kematian Adrian hanya karena kopi saja. Kopi yang sudah mengalahkan harga dirinya yang pernah diminta secara baik-baik dari almarhum Abah.Â
Maya merasa tak cukup pantas menikmati pahitnya rasa kopi. Sedang untuk bercerai, suaminya tak pernah setuju melepas wanita lugu sepertinya.
SELESAI
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana