Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lentera Dinding dan Secarik Kertas

23 November 2021   19:11 Diperbarui: 23 November 2021   19:21 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lepaskan!" jerit wanita itu. "Saya tidak sudi menikah tanpa cinta. Itu sama dengan penjara!" ia berusaha memberontak dari dua lelaki yang mencengkeramnya.

Namanya Suci. Berkulit putih, berambut hitam dan halus, dan bibir merah alami. Siapa yang tak tertarik?

Pak Harun sudah lama menunda hasratnya, sebab Suci cukup sulit ditaklukkan. Inilah kesempatan yang ditunggu. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

"Hai Suci, lihatlah rumah ini. Kau pasti bahagia menjadi istri saya..." sahut Pak Harun gagah. Tawanya membahana, membuat Suci makin mual.

"Saya mohon..." Suci memelas. "Saya punya anak yang menunggu di rumah. Pak Harun bebas memilih gadis yang lebih muda dan lebih cantik..."

Laki-laki tua yang disebut Pak Harun menyeringai. Bukannya sependapat dengan tawanannya, ia justru tambah penasaran. Derai air mata wanita di depannya tak ia hiraukan. Sekilas ia memberi kode pada anak buahnya, sebelum membalikkan badan, masuk ke dalam rumah. 

Senja berjatuhan di tengah Jakarta. Suci menyaksikannya, nanar di balik kaca jendela. Apa yang bisa dilakukannya di kamar yang terkunci, kecuali memendam amarah.

"Mbak Suci, silahkan makan malamnya..." seorang perempuan berseragam membuka pintu dengan nampan di tangan. Aroma daging dengan bumbu rempah melimpah, memenuhi ruangan. Tapi gagal mengundang selera Suci.

"Mbak, tolong bantu saya keluar dari rumah ini. Kasihan anak saya..."

Si Mbak menatap ke titik matanya. Wanita cantik yang malang, pikirnya. Ia tahu betul, Pak Harun selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Mana mungkin Suci akan dilepaskan.

Terdorong rasa iba, perempuan itu lalu menemui sang majikan. Perempuan itu tahu benar, anak-anak akan sangat menderita bila dipisahkan dari ibu kandungnya. Seperti yang ia alami akibat perceraian orang tuanya. Pak Harun hanya menginginkan Suci. Pastilah anak itu akan ditelantarkan 

"Jadi, Suci benar-benar tidak ingin menjadi Nyonya di rumah ini?" Pak Harun tercenung. Barusan ia menemukan wanita yang tidak tergiur akan harta. Sungguh naif.

"Baiklah," katanya lagi. "Saya akan memberi Suci satu kesempatan. Jika ia berhasil, ia akan saya lepaskan. Tetapi bila gagal, maka Suci harus menerima pernikahan ini..." suara tawa lelaki tua memecah malam. Wajah seakan tenggelam dalam kepulan asap putih.

*

Pagi menjelang.

Di kamarnya, Suci tercekat, bersama terbitnya sebuah harapan. 

Perempuan berseragam itu muncul dengan sebuah berita, saat mengantar sarapan.

"Mbak Suci punya waktu 24 jam untuk menemukan secarik kertas berwarna merah jambu, bertuliskan: AKU BEBAS..." tuturnya serius.

"Sebaiknya ambil kesempatan ini, Mbak. Mungkin saja Pak Harun akan menepati kata-katanya..."

Sesaat Suci menyadari ini seperti permainan anak-anak. Sangat konyol. Tapi siapa tahu pula, ini justru akan menyelamatkannya. Ia berpikir optimis.

Setelah perempuan itu pergi, satu saja yang mengisi kepalanya. Ia harus menghabiskan sarapannya untuk mengumpulkan tenaga. Sebab tidak mudah menemukan jarum dalam tumpukan jerami.

Sebagai ibu, semua ini ia lakukan untuk Aisyah, putri tunggalnya. Ia sudah bertekad akan mencintai gadis kecilnya sepenuh hati. Tanpa terbagi. 

Maka bergegas diperiksanya setiap sudut rumah besar itu. Mulai dari tempat-tempat yang masuk akal, sampai tempat yang tidak terpikir oleh siapapun. Di ruang kerja Pak Harun, di dalam lemari, vas bunga, kotak tissu, sampai di bawah karpet. 

Sudah berjam-jam, Suci berusaha menemukan secarik kertas merah jambu. Diliriknya jam besar antik di dekat tangga. Sudah pukul 3 siang.

Tiba-tiba Suci ingat, mungkin saja di bagian belakang jam besar antik itu ada sebuah celah. Dengan bantuan lampu senter, Suci mulai harap-harap cemas. Ternyata nihil.

Dengan kecewa, dilemparkannya tubuhnya di atas sofa. Dimanakah lagi kira-kita, ia berpikir keras.

Rasa letih dan kurang tidur semalam, membawanya ke dalam mimpi.

Sinar matahari sore perlahan menembus jendela. Menghangati pipi pualamnya. Suci masih terlelap, sampai seekor kucing datang dan menggosok-gosok ujung kakinya.

Suci akhirnya terbangun, terkesiap kaget.

"Ya ampun, aku sudah tertidur!" Dilihatnya sekeliling. Lampu ruangan mulai benderang. 

Diperhatikannya benda apa lagi? Sudut mana lagi? 

Diseretnya kakinya menuju balkon, memeriksa pot besar di sana, serta pada bagian bawah kursi berukir. Hampa. 

Kakinya lalu berlari keluar menuju taman. Ditatapnya sejauh mata memandang. Dikejarnya lampu taman. Dicarinya selipan secarik kertas. Tak ada.

Ia tak boleh putus asa. Ia terus menyusuri dinding belakang bangunan  Di balik bunga mahal, di sela bebatuan pinggir kolam. Semoga saja ia bisa menemukan.

Ah, tapi rasanya mustahil. Semua tempat sudah ia pastikan. 

Suci terduduk lemas. Perlahan air matanya mengalir. Dibayangkannya Aisyah akan kehilangan dirinya.

"Ya Tuhan, tolong bantu hamba keluar dari sini..." doanya tulus.

Di ujung rasa putus asa, matanya menatap lentera dinding bernuansa gotik.

Ini benda terakhir yang belum disentuhnya. Ya, semoga saja, ia membatin.

Suci berusaha mencari tangga di gudang belakang. Diseretnya dengan susah payah, lalu diraihnya kaca lampu. Dicarinya celah terkecil untuk menyembunyikan secarik kertas yang diharapkannya. 

Benar saja. Suci menemukannya! Tak terasa air matanya berubah deras. 

Ditunggunya Pak Harun pulang ke rumah dengan tak sabar hati. Pada waktu yang tepat, Suci lalu menjelaskan tentang secarik kertas merah jambu. Suci memohon agar ia segera dibebaskan.

Pak Harun masgul. Bimbang. 

Apakah dia sanggup melepaskan wanita yang telah lama ia inginkan? Atau ia akan menghianati perjanjian itu dan tetap menikahi Suci?? 

"Tolong Pak, saya tidak ingin menikah dengan Bapak. Saya tidak akan merasa bahagia karena saya tidak pernah mencintai Bapak. Tolong lepaskan saya, kasihan Aisyah..." Suci terus memelas. Wajahnya kusut masai.

Lama Pak Harun terdiam. Diingatnya adiknya semata wayang di negeri orang. Bagaimanakah nasibnya?

Hening malam mengalir sepi. Begitu berat keputusan ini harus diambil.

Dengan suara serak, Pak Harun menyampaikan kepada Suci, "Besok pagi kau boleh pergi. Aku akan melupakan tentang pernikahan ini..." katanya mantap.

Suci terharu, senang sekaligus juga tak percaya. Ingin cepat dilaluinya malam ini, agar pagi segera membawanya pada Aisyah.

SELESAI

Kota Tepian, 23 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun