"Jadi, Pangeran Damian diundang untuk disandingkan denganku, Baginda?" tanyanya sekali lagi. Putri Tea terkejut sekaligus bahagia.
Ia tak menyangka, pangeran tampan teman sepermainan adik tirinya itu akan dijodohkan dengan dirinya, tepat di hari ulang tahun Putri Ilena. Ternyata mereka hanya bersahabat.
"Bagaimana dengan gaun biru yang dicuri, apakah baginda sudah mendengar berita itu?" tanyanya tak dapat menyembunyikan rasa penasaran.
"Ya, penjahit istana segera membuat gantinya. Dan Ratu Alea mengganti warnanya dengan warna yang lebih indah. Engkau tenang saja," sahut sang Raja.
Sesaat wajah Putri Tea tertunduk menatap lantai permadani. Ada perasaan malu di hatinya. Tetapi apakah ia tidak akan mendapat hukuman apa-apa?
"Baginda, hukumlah putrimu ini..." pekiknya dengan suara memelas. Di satu sisi ingin bersikap jujur, di sisi lain ia takut ayahandanya benar-benar akan memberi hukuman setimpal.
"Sebenarnya, Tea yang melakukannya, Baginda. Tea yang mencuri gaun Putri Ilena.Â
Sebab selama ini Tea merasa Baginda lebih menyayanginya Putri Ilena" ia memekik dan menghambur ke pelukan sang Raja. Tak urung air mata kesedihan membasahi pipinya.
Tangan Raja mengusap rambut putrinya. Sebagai seorang Raja, ia paham kecemburuan dan salah paham akan mewarnai hubungan dengan para ratu dan anak-anaknya. Tapi ia lega karena putrinya berbesar hati mengakui kesalahan.
"Putriku, Raja tidak boleh pilih kasih dalam menegakkan hukum. Engkau tahu, kan?"
"Baginda, Tea siap menerima hukuman..."