Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayi Kucing yang Memilih Mati

10 Oktober 2021   11:35 Diperbarui: 10 Oktober 2021   11:36 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bayi kucing yang memilih mati|foto: thehappycatsite.com

Menjadi anak kucing, mungkin bukan bagian dari keinginannya. Tetapi adalah takdir. 

Ia lahir dari induk kucing berbulu kelabu di suatu tengah malam. Satu-satunya saudaranya, masih belum sempurna saat menemaninya masuk ke alam dunia. 

Saudaranya terlahir dalam keadaan mati, sebab masih terbungkus oleh kantung selaput. Maka ia sendiri saja hadir di tengah-tengah keluarga manusia, dengan sedikit memberanikan diri.

Pada hari pertama, didengarnya tuan Edi menolaknya. Sang induk selalu memilih kediaman tuan Edi untuk melahirkan anabul (anak berbulu). Selebihnya selalu berkeliaran menjalin hubungan asmara dengan sang jantan.

"Jelek bulu anak kucing itu. Hitam pekat!" seru tuan Edi. 

Tapi kemudian terdengar suara istrinya membela. "Lha, kita kan tidak bisa pesan supaya bulunya putih bersih?"

Begitulah. Manusia selalu menginginkan yang bagus-bagus saja. Yang dianggap jelek ditepisnya.

Anabul yang kemudian diberi nama si Belang oleh nyonya rumah, tampak terdiam dalam keranjangnya. Hampir seharian ia tak mendapatkan air susu. Tubuh kecilnya mulai terasa dingin.

Kenyataan ini melambungkan ingatan pada enam bayi kucing terdahulu. Tanpa asupan susu induk kucing, mereka akan mati satu per satu dengan sendirinya. Ah, jangan sampai terjadi lagi.

Nyonya rumah menemukan kucing kelabu itu meringkuk saja di sudut teras. Ia sudah tiga kali melahirkan anak-anaknya, tapi baru kali ini terlihat enggan menyusui.

Dalam seleksi alam, induk kucing sering mengambil keputusan untuk membiarkan anak-anaknya mati. Apalagi ia tahu sudah lebih sepuluh ekor kucing yang ada di rumah ini.

"Abuk-abuk, sini... Ayo makan makananmu!" seru nyonya memanggil. Dihampirinya induk kucing yang tampak masih ketakutan. Dibawanya ke dekat wadah berisi nasi dan ikan.

Diusapnya kepala induk kucing itu perlahan. Disayanginya, sampai kucing itu akhirnya mau makan. 

Sebenarnya tuan Edi bukan baru sekali ini marah kepada kucing yang dianggap melakukan kesalahan. Ia sering melemparkan kucing-kucingnya keluar pintu, atau melibas dengan sapu lidi.

Bahkan baru sebulan yang lalu, saat tuan Edi dan istrinya pulang dari pasar, peristiwa memilukan terjadi. Salah seekor anabul yang terkenal agresif dan suka merampas makanan di mulut sesamanya, ditendang sedemikian rupa olehnya. 

Saat tengah hari, tuan Edi mencari kucing berbulu oranye yang tak kunjung menampakkan diri.

"Kuning...! Kuning...!" ia memanggil-manggil. 

Mungkin kucing nakal itu masih takut untuk pulang, pikirnya. Semoga keadaannya baik-baik saja.

Tetapi tiga hari kemudian, nyonya rumah mengendus bau tidak mengenakkan di halaman. Malam itu juga, dengan bantuan senter kecil, tuan Edi dan istrinya memeriksa semak-semak tak jauh dari rumah mereka. 

Rupanya kucing malang itu mendekam di bawah rumpun pakis. Ia sudah mati. Tubuhnya dipenuhi kawanan makhluk pengurai bangkai. Entah pencernaannya yang kena, atau pernafasannya yang kolaps. 

"Kau kupanggil kenapa tidak muncul? Padahal mau kuobati..." tuan Edi tak dapat menyembunyikan penyesalannya. Digalinya tanah dan dikuburkannya tanpa berkata sepatah pun lagi.

*

Sudah lebih seminggu, induk kucing yang dipanggil abuk-abuk itu menyusui bayinya di keranjang. Mereka tidur berdua layaknya ibu dan anak yang saling menyayangi. Nyonya rumah merasa senang dan lega.

Begitulah, para hewan hanya mempunyai insting untuk merasakan adanya ancaman atau kasih sayang. Mereka sulit membedakan benar dan salah. 

Di akhir minggu kedua, bayi kucing itu mulai menunjukkan suara imutnya. Lucu sekali. Ia juga berusaha memanjat keluar keranjangnya, berusaha menemukan ketiadaan sang induk.

Dengan telaten, nyonya rumah mengganti keranjangnya dengan bak cucian yang tidak terpakai. Diberikannya kain-kain bekas yang bersih. 

Ia senang melihat si Belang mulai tumbuh besar. Kelak pasti anabul ini tampak cantik menggemaskan. Lihat saja ketiga kakinya, seperti memakai kaus kaki putih saja.

Sayang, pikiran tersebut hanya sebuah bayangan di kepalanya. Sebulan kemudian, bayi kucing yang malang itu ditinggalkan oleh induknya. Lagi-lagi kucing abuk-abuk mendapat cambukkan sapu lidi. Tuan Edi mengusirnya karena ia terlihat tidak berguna.

Nyonya rumah merasa sedih. Baru saja di pagi harinya ia memberikan ikan segar pada induk kucing. 

Lihatlah, sekarang si Belang terus menerus menjerit memanggil sang induk. Bukan lagi dengan suara yang imut, tapi dengan jeritan serak menyayat hati.

"Berikan saja susu dengan bantuan dot khusus untuk bayi kucing," saran tuan Edi kepada istrinya.

Ya benar, ia pernah melihatnya di pet shop saat membeli pakan kucing. Tapi, apakah ini menyelesaikan masalah?

Terdorong perasaan iba, nyonya rumah meluangkan waktu untuk merawat bayi kucing. Memberikannya susu, serta membersihkan kotorannya setiap diperlukan. 

Saat tuan Edi pulang untuk istirahat makan siang, si Belang menangis tak henti. Istrinya membelitkan potongan kain menyerupai bentuk bedongan, lalu memberikan dot susu seraya membujuk. 

"Diam ya, kucing manis. Indukmu sudah pergi, dan kau sekarang yatim piatu. Minum susumu, lalu tidur yaa..."

Tuan Edi tertawa kecil melihat sikap istrinya. 

Malam hari, istrinya keluar dari kamar karena mendengar si Belang menangis kelaparan. Setelah selesai memberi susu dan bayi kucing itu tertidur, ia masuk lagi ke kamarnya.

Tapi sayang, sepertinya usaha ini sia-sia saja.

Pada hari ketiga, anak kucing ini tak sanggup lagi menahan rindunya pada dekapan hangat sang induk. Ia tergeletak lemas tak seperti biasanya.

Apalah artinya air susu pengganti, bila sang induk tega dan mengabaikannya. Mungkin kehadirannya tak dibutuhkan, bahkan hanya menambah sesak rumah tuan Edi.

Begitulah, bayi kucing itu mencoba meraba takdir hidupnya. 

Sebelas ekor kucing yang terus-menerus meminta makan, sudah cukup menjadi beban. Saat kelaparan, mereka menjadi agresif dan saling berebut apapun yang diberikan.

Seakan paham dengan keluhan tuannya, kucing abuk-abuk pernah sengaja menindih bayinya sambil menyusui tiga ekor lainnya. Secara bergantian diperbuatnya, sampai empat anaknya tersisa satu ekor saja.

"Kau rindu indukmu, ya Belang?" tanya nyonya rumah saat menungguinya. Diusapnya kepala kucing kecil itu dengan ujung jari.

"Indukmu tidak terlihat di sekitar sini, juga tak pernah pulang meminta makan. Sabar ya Belang..." katanya lagi.

Nyonya rumah yakin bayi kucing itu mendengarkan. Ia merespon dengan mencoba berdiri, mengeong lirih, lalu terkulai lagi. 

Tepat tengah malam, si Belang yang seharian hanya terdiam di tempatnya, menghembuskan nafas terakhirnya

Wanita itu sangat sedih. Tubuh kurus bayi kucing menunjukkan tanda tak bergunanya susu yang diminum tiga hari terakhir. Malah sepertinya terjadi diare.

Ia ikhlas. Mungkin bayi kucing itu lebih memilih mati. Ia tak bersedia hidup tanpa kehadiran induk kucing di sisinya.

_______________

Cerpen ini disadur dari kisah nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun