Terdorong perasaan iba, nyonya rumah meluangkan waktu untuk merawat bayi kucing. Memberikannya susu, serta membersihkan kotorannya setiap diperlukan.Â
Saat tuan Edi pulang untuk istirahat makan siang, si Belang menangis tak henti. Istrinya membelitkan potongan kain menyerupai bentuk bedongan, lalu memberikan dot susu seraya membujuk.Â
"Diam ya, kucing manis. Indukmu sudah pergi, dan kau sekarang yatim piatu. Minum susumu, lalu tidur yaa..."
Tuan Edi tertawa kecil melihat sikap istrinya.Â
Malam hari, istrinya keluar dari kamar karena mendengar si Belang menangis kelaparan. Setelah selesai memberi susu dan bayi kucing itu tertidur, ia masuk lagi ke kamarnya.
Tapi sayang, sepertinya usaha ini sia-sia saja.
Pada hari ketiga, anak kucing ini tak sanggup lagi menahan rindunya pada dekapan hangat sang induk. Ia tergeletak lemas tak seperti biasanya.
Apalah artinya air susu pengganti, bila sang induk tega dan mengabaikannya. Mungkin kehadirannya tak dibutuhkan, bahkan hanya menambah sesak rumah tuan Edi.
Begitulah, bayi kucing itu mencoba meraba takdir hidupnya.Â
Sebelas ekor kucing yang terus-menerus meminta makan, sudah cukup menjadi beban. Saat kelaparan, mereka menjadi agresif dan saling berebut apapun yang diberikan.
Seakan paham dengan keluhan tuannya, kucing abuk-abuk pernah sengaja menindih bayinya sambil menyusui tiga ekor lainnya. Secara bergantian diperbuatnya, sampai empat anaknya tersisa satu ekor saja.