Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Beri Makan Ikan di Kolam

5 Oktober 2021   19:25 Diperbarui: 5 Oktober 2021   19:53 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jangan Beri Makan Ikan di kolam | foto: ruparupa.com

Celia berjalan sambil membusungkan dadanya. Sangat tidak percuma memiliki wajah cantik dan tubuh bak model, bukan? Pria di sampingnya menepati janji membelikannya sebuah rumah. Ya, meski bukan rumah baru, setidaknya sekarang ia bisa keluar dari gubuk reot orang tuanya.

Malam nanti, atau selambat-lambatnya besok, Celia akan mengundang beberapa teman untuk sebuah perayaan kecil. Gadis itu tersenyum senang.

Pemandangan dari atas balkon sungguh menyejukkan mata. Ia bisa mengira matahari muncul dari arah jam sebelas besok.

"Sayang, aku tak bisa lama-lama. Aku pamit, yaa..." ucap pria bernama Roy itu.

Celia agak kaget. Tapi ia ingat, di mobil Roy sudah bilang dirinya sibuk hari ini. Ia pun mengangguk diikuti sebuah kecupan di keningnya.

"Hati-hati di jalan..."

Dari atas balkon, gadis itu terus memandangi punggung kekasihnya, sampai mobilnya menghilang di balik barisan pohon angsana.

*

Kamis sore, hampir pukul lima. Celia sudah kedatangan lima sahabatnya. Mereka langsung makan-makan dan joget-joget tiktok. Celia membebaskan saja.

Sebenarnya ia juga ingin mengundang Anjas, mantannya yang dulu meninggalkannya demi gadis bar.

Celia meneguk minumannya. Tidak ada gunanya menyimpan dendam. Toh, Roy sudah hadir menggantikan Anjas. Bukan hanya untuk menyembuhkan lukanya, tapi untuk memberikannya kehidupan lebih bahagia.

Coba kalau dia mendengarkan tetangga. Celia tak boleh keluar malam, dan harus membantu ibunya dagang pecel di pasar. Bahkan kalimat sakti yang diucapkan ibunya, masih ia hafal sampai sekarang.

 "Apa kata tetangga nanti, Nak, kalau tahu kau kerja di tempat seperti itu??"

Aneh! Memang ada yang salah, dengan tempat kerjanya?

Pijat dan spa adalah tempat mereka yang ingin memanjakan diri dan mendapatkan perawatan tubuhnya dengan cara tradisional. Pelanggannya pria dan wanita dari berbagai kalangan. Dengan kata lain siapa saja bisa datang. Sangat terbuka dan tempatnya sangat nyaman. Tak ada "plus-plus"nya!

Celia meremas rambutnya. Macam-macam saja tanggapan orang kalau iri. Terserahlah, kalau ibunya tak setuju dan tak ingin menemaninya. Dia bisa tinggal berdua saja dengan Bik Inah.

"Hai, bengong aja?" Vira memergoki sahabatnya bete lagi. Celia tersenyum.

"Nyokap ngga mau nemenin gue tinggal di sini... Kan rumah ini besar banget! Bisa mati berdiri deh kalau malam-malam hujan deras..."

"Yeeyyy... itu dipikirin. Entar gua dah  yang nemenin elu!"

"Seriusan??"

"Lah, iyaa...!"

*

Dua bulan sudah Celia menempati rumah besarnya. Bila merasa sepi, ia mengundang temannya untuk makan, nonton, sampai bermalam juga di sana. Terakhir, persis seminggu yang lalu. 

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, apa sih yang harus ditakuti? Dan rasanya para hantu tak akan tega menggoda gadis secantik dirinya. Yang ada juga terkagum-kagum seperti Roy!

Hehe... Celia tersenyum sendiri merasakan kekonyolannya. 

Dari balkon, ia beranjak menuruni tangga ke ruang tengah. Melangkah ringan di atas lantai putih, lalu membuka pintu kaca yang menghubungkan dengan bagian samping.

Hwoaaa... ternyata ada halaman berumput yang tak terawat!

Benar kata bik Inah, ia harus memanggil penduduk sekitar untuk membantunya memotong rumput.

Rupanya ada pohon besar juga di sebelah sana. Sepertinya dari jenis pohon beringin. Celia berjalan mendekati, lalu memungut buah yang banyak berjatuhan di atas tanah.

Buah ara. Celia suka memainkannya saat masih kecil. Tapi kata warga kampung, pohon beringin disukai oleh orang halus. Sebab suasananya dingin dan teduh.

Tapi sudahlah. Gadis itu terus menyusuri alur yang tampak sudah lama tak diinjak. 

"Kemanakah arahnya?" bisiknya penasaran.

Di balik rumpun bambu, Celia melihat sebuah kolam kecil. Ada tumbuhan teratai yang bunganya sedang mekar. Gadis itu menjadi girang karenanya. 

Ah, Roy tidak bilang tentang kolam ini sebelumnya. Bahkan ia sendiri belum pernah menjelajah sampai sini.

Matanya berkeliling mencari tangguk penangkap ikan. Kira-kira disimpan dimana, oleh penghuni sebelumnya??

"JANGAN BERI MAKAN IKAN DI KOLAM"

Celia membaca tulisan pada selembar tripleks yang dipasang pada batang pohon. Di bawahnya, dua buah tangguk besar dan kecil disangkutkan.

Alis gadis itu berkerut. 

Aneh! Seumur hidupnya, ia tak pernah mendengar larangan seperti itu. Yang ada juga... ikan peliharaan harus diberi makan biar tidak mati.

Celia mengambil tangguk besar dan mendekati kolam. Ia ingin melihat ikan itu dari dekat, lalu melepaskannya lagi nanti.

Matahari mulai menyengat kulitnya. Angin juga bertiup menerbangkan rambutnya. Bukan, sepertinya mengacak-acak dengan kasar. 

Angin bertiup semakin kencang. Daun-daun kering tampak beterbangan bersama debu lainnya. Apakah ada badai? Celia menatap berkeliling.

Tiba-tiba dari dalam kolam muncul makhluk perpaduan hiu dengan gurita, mirip sharktopus dalam film Amerika yang biasa ditontonnya.

Jantungnya berdetak cepat. Rasa takut menguasai pikirannya. Seribu pertanyaan muncul dimana-mana. Celia gemetar tak karuan.

Celia melompat mundur demi melihat makhluk menyeramkan itu berjalan di permukaan tanah, melompat, lalu duduk manis di atas sebuah pohon.

Celia melihat lagi sekelilingnya. Siapa tahu ada celah untuknya menyelamatkan diri, atau seseorang yang dapat menolongnya.

Nihil. Gadis itu takut sekali. Lebih baik ia masuk tong kosong di sana. Sepertinya bekas menampung air hujan. Tapi kondisinya sudah retak dan usang.

Tidak. Sebaiknya ia menempel saja pada pohon pinang tak jauh dari tempatnya sekarang. Apakah makhluk itu akan memangsa kepalanya sampai putus dan darahnya akan berhamburan? 

Celia takut sekali. Makhluk itu biasa membuat kekacauan dan membantai orang-orang. Kekuatan dari sharktopus pada tentakelnya yang berbahaya, serta seluruh giginya yang tajam. Begitulah yang dilihatnya dari film.

"Neng Lia, bangun Neng. Sadar..." 

"Bik Inah?" Celia membuka mata dan terperanjat. Lega.

Dipeluknya wanita paruh baya itu. Lalu memperhatikan sekeliling. Ruang kamarnya sepi sekaligus hampa. 

"Neng Lia pasti mimpi buruk, yaa..."

Yang ditanya memegangi kepala. Wajahnya suram.

"Masak sih Bik, ngga ada kolam ikan di halaman belakang, dekat pohon beringin?"

Bik Inah menggeleng kuat-kuat.

"Aku udah tiga kali loh, Bik, mimpi makhluk menyeramkan keluar dari kolam ikan. Dan di sana, ada papan kecil tanda larangan memberi makan ikan di kolam. Apa coba, maksudnya?"

Bik Inah mengelus pundak Celia. Pandangan matanya lembut, berusaha menenangkan hati Celia.

"Neng Lia kan nonton film sampai ketiduran. Pasti terbawa mimpi. Itu tadi Bibik yang matiin pelem nya..."

Celia melihat kaset-kaset CD yang berhambur di depan layar home theaternya.

Benar juga, pikir Celia. Entah sampai kapan ia akan jadi penakut seperti ini.

"Ya sudah atuh Neng. Bibik keluar dulu..."

Tanpa menunggu jawaban, Bik Inah berlalu. Ia merasa lega, masih kuat memendam rahasia tentang kolam ikan dimaksud. 

Cukup dirinya yang tahu, bahwa nyonya rumah ini dulu tewas dibunuh oleh suaminya. Mayatnya dikubur dalam kolam ikan. Lalu ditutupi tanah uruk puluhan ret, tanpa ada yang tahu. 

Hanya Bik Inah, pembantu mereka yang menjadi saksi, sebelum rumah ini akhirnya dijual. 

Roy adalah pembeli ketiga. Dua nama sebelumnya, tak bertahan lama, lalu pergi dan menjual lagi rumah ini. 

Semoga Neng Lia awet tinggal di sini, harapnya dalam hati.

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun