Mengharapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan
Mengharapkan keuntungan besar yang belum pasti, yang sudah dimiliki pun dibuang sia-sia, akhirnya tidak punya apa-apa.
Agaknya pepatah ini yang berlaku dalam hidup Kak Atik, sekarang.
Saat aku datang bertamu ke rumahnya, kesan "wah" langsung menyergap. Sebuah rumah cukup mentereng di komplek perumahan, meski untuk tembus kesana aku melewati jalan yang kiri kanannya sawah menghijau.Â
"Tunggu ya, mau minum apa?" ia menawari dengan senyum ramah, begitu aku mendarat di kursi empuk.
"Apa aja, Kak, asal tidak merepotkan..."
"Engga lah, kau kan jarang kemari. Ini baru tumben," sebentuk senyum menghias wajahnya yang bersih, menambah cantik meski hanya tampil dengan daster bunga-bunga.
Ruangan ini begitu adem. Mataku menyapu berkeliling. Begitu banyak bunga-bunga memperindah tiap sudut, meski bukan bunga asli. Kutaksir yang di meja kaca ini harganya ratusan ribu. Belum lagi yang sebesar ukuran tubuhku di sana.
"Kenapa? Kau suka bunga juga?" tanya Kak Atik begitu muncul dari balik tirai terbuat dari kerang-kerang kecil yang dironce.
Di tangannya sebuah nampan berisi splash mangga dan semangkuk puding cokelat. Si kecil yang ikut serta, langsung tergiur vla putih yang tampak begitu lembut. Hmm...
Hidup Kak Atik memang tampak bahagia. Setelah beberapa tahun menjanda, ia dinikahi pekerja tambang batubara dari Kalimantan. Namanya Pak Saman, seorang lelaki paruh baya yang juga seorang duda.
Meski sudah tujuh tahun tak dikaruniai momongan, keduanya tak ada masalah. Toh masing-masing mempunyai anak dari pasangan terdahulu. Lagipula Pak Saman jarang berada di rumah. Lokasi tambang berada di luar kota. Mesti ditempuh dengan pesawat, dari kampung halaman Kak Atik.
"Ayo diminum," Kak Atik membuyarkan lamunanku.Â
"Di sini sepi, perumahan belum penuh semua..." katanya menerangkan.
Aku menyeruput setengah isi gelas. Manis dan nikmat. Rasanya kesegaranku pelan-pelan pulih setelah terpanggang di jalan tadi. Si bungsu pun tampak menikmati puding yang kusuapkan. Kak Atik ikut tertawa melihat kelucuannya.
"Aku sudah lama ngga punya anak kecil. Entah bagaimana kalau harus hamil di usia tua seperti ini. Lebih baik jangan yaa. Dinikmati saja kekayaan Bang Saman," katanya dengan aura muka aneh.
Setahun berlalu.Â
Di lingkungan rumah yang kutempati, belakangan muncul onar tak jelas. Lama-lama aku memasang telinga juga. Katanya ada tamu dari Aceh, akan mengontrak di sebelah sana.Â
Hampir dua tahun aku menempati salah satu rumah petak milik Pak Saman dan Kak Atik. Petak yang di tengah itu selalu kosong, tak ada penghuni. Tapi yang sebelah ujung, sempat ditinggali dua penghuni berbeda. Orang Aceh ini adalah yang ketiga.
Walau tak bermaksud kepo, selintas mataku menangkap juga keganjilan yang terjadi. Kak Atik yang selalu memakai baju panjang berbahan halus, kemana-mana diantar mobil suaminya, tampak juga menyapu rumah yang akan ditempati pria muda itu. Bahkan membawa masuk bantal dan beberapa barang lain. Apakah ia biasa membantu calon pengontrak rumah?
*
Malam ini aku dan beberapa tetangga sepakat menengok Mamak Aji, ibu dari Kak Atik. Sudah dua kali ini beliau dirawat di rumah sakit karena hipertensi, tapi aku belum sempat memberikan perhatian.
Semua tampak baik saja. Ruang perawatan hening, karena kami tak ingin membuat ketenangan Mamak Aji bergejolak.
"Terima kasih ya Nak, kamu sudah datang," katanya sambil meraih tanganku.
"Jadi mana anak kecilmu?" ia bertanya dengan suara lembut.
"Sama suamiku, Aji, menunggu di parkiran. Anak kecil tidak boleh masuk..."
"Iya, kau jangan lama di sini. Kasihan suamimu menunggu."
Beberapa tetangga terlihat haru. Mamak Aji begitu sayang pada siapa saja. Puluhan pintu kontrakan miliknya selalu terisi penuh. Ia bijaksana saat minta uang kontrakan. Ia tahu para perantau itu hanya orang kecil. Berbeda dengan Kak Atik, anaknya, yang cenderung galak dan tak ingin pembayaran ditunda barang sehari.
"Atik tak pernah antar makanan. Selalu suster yang suap saya makan di sini," keluh Mamak Aji, di luar dugaan kami semua.
Setelah berpamitan, aku dan beberapa tetangga berjalan cepat menuruni tangga. Sesampainya di area parkir, segera mereka susupo (bergunjing).
"Bukannya Atik masak tiap hari?"
"Pantas anak sulungnya marah-marah di jalan dan meneriaki mamanya selingkuh. Rupanya ini?"
"Pak Saman pernah tanya, apakah Atik pernah kirim makanan ke rumah sakit? Rupanya mereka ribut di rumah mewahnya?"
"Keterlaluan, anak sulungnya disuruh ciduk BNN, rupanya untuk menghilangkan saksi bahwa dia selingkuh!"
"Dengan tamu ganteng dari Aceh, kan?"
"Ganteng tapi punya istri, di sana..."
Aku mendengar ibu-ibu berkomentar silih berganti. Sekalipun aku tak menambahi. Bergegas saja pulang ke rumah.
Tiga bulan kemudian...
Kenduri 40 hari meninggalnya Mamak Aji baru saja berlalu beberapa hari. Kak Atik tampak kurus, tak pernah lagi pulang ke rumahnya yang adem dan terawat.
Kebetulan aku harus pulang kampung, setelah mendapat kabar, ibu sakit keras.
Beberapa waktu berlalu. Tersiar kabar rumah petak yang dulu kutempati, telah dijual oleh Pak Saman. Begitu pula aset rumah tangganya berupa rumah mentereng dan mobil. Sepeser pun Kak Atik tidak menerima bagian. Ia ditalak tanpa diberikan haknya.
Aku terbayang sosok wanita yang terpekur, duduk menunggu pembayaran penghuni kontrakan milik Mamak Aji. Hanya uang kecil, yang akan membuat mukanya masam.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H