Hidup Kak Atik memang tampak bahagia. Setelah beberapa tahun menjanda, ia dinikahi pekerja tambang batubara dari Kalimantan. Namanya Pak Saman, seorang lelaki paruh baya yang juga seorang duda.
Meski sudah tujuh tahun tak dikaruniai momongan, keduanya tak ada masalah. Toh masing-masing mempunyai anak dari pasangan terdahulu. Lagipula Pak Saman jarang berada di rumah. Lokasi tambang berada di luar kota. Mesti ditempuh dengan pesawat, dari kampung halaman Kak Atik.
"Ayo diminum," Kak Atik membuyarkan lamunanku.Â
"Di sini sepi, perumahan belum penuh semua..." katanya menerangkan.
Aku menyeruput setengah isi gelas. Manis dan nikmat. Rasanya kesegaranku pelan-pelan pulih setelah terpanggang di jalan tadi. Si bungsu pun tampak menikmati puding yang kusuapkan. Kak Atik ikut tertawa melihat kelucuannya.
"Aku sudah lama ngga punya anak kecil. Entah bagaimana kalau harus hamil di usia tua seperti ini. Lebih baik jangan yaa. Dinikmati saja kekayaan Bang Saman," katanya dengan aura muka aneh.
Setahun berlalu.Â
Di lingkungan rumah yang kutempati, belakangan muncul onar tak jelas. Lama-lama aku memasang telinga juga. Katanya ada tamu dari Aceh, akan mengontrak di sebelah sana.Â
Hampir dua tahun aku menempati salah satu rumah petak milik Pak Saman dan Kak Atik. Petak yang di tengah itu selalu kosong, tak ada penghuni. Tapi yang sebelah ujung, sempat ditinggali dua penghuni berbeda. Orang Aceh ini adalah yang ketiga.
Walau tak bermaksud kepo, selintas mataku menangkap juga keganjilan yang terjadi. Kak Atik yang selalu memakai baju panjang berbahan halus, kemana-mana diantar mobil suaminya, tampak juga menyapu rumah yang akan ditempati pria muda itu. Bahkan membawa masuk bantal dan beberapa barang lain. Apakah ia biasa membantu calon pengontrak rumah?
*