Malam ini aku dan beberapa tetangga sepakat menengok Mamak Aji, ibu dari Kak Atik. Sudah dua kali ini beliau dirawat di rumah sakit karena hipertensi, tapi aku belum sempat memberikan perhatian.
Semua tampak baik saja. Ruang perawatan hening, karena kami tak ingin membuat ketenangan Mamak Aji bergejolak.
"Terima kasih ya Nak, kamu sudah datang," katanya sambil meraih tanganku.
"Jadi mana anak kecilmu?" ia bertanya dengan suara lembut.
"Sama suamiku, Aji, menunggu di parkiran. Anak kecil tidak boleh masuk..."
"Iya, kau jangan lama di sini. Kasihan suamimu menunggu."
Beberapa tetangga terlihat haru. Mamak Aji begitu sayang pada siapa saja. Puluhan pintu kontrakan miliknya selalu terisi penuh. Ia bijaksana saat minta uang kontrakan. Ia tahu para perantau itu hanya orang kecil. Berbeda dengan Kak Atik, anaknya, yang cenderung galak dan tak ingin pembayaran ditunda barang sehari.
"Atik tak pernah antar makanan. Selalu suster yang suap saya makan di sini," keluh Mamak Aji, di luar dugaan kami semua.
Setelah berpamitan, aku dan beberapa tetangga berjalan cepat menuruni tangga. Sesampainya di area parkir, segera mereka susupo (bergunjing).
"Bukannya Atik masak tiap hari?"
"Pantas anak sulungnya marah-marah di jalan dan meneriaki mamanya selingkuh. Rupanya ini?"