Mengharapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan
Mengharapkan keuntungan besar yang belum pasti, yang sudah dimiliki pun dibuang sia-sia, akhirnya tidak punya apa-apa.
Agaknya pepatah ini yang berlaku dalam hidup Kak Atik, sekarang.
Saat aku datang bertamu ke rumahnya, kesan "wah" langsung menyergap. Sebuah rumah cukup mentereng di komplek perumahan, meski untuk tembus kesana aku melewati jalan yang kiri kanannya sawah menghijau.Â
"Tunggu ya, mau minum apa?" ia menawari dengan senyum ramah, begitu aku mendarat di kursi empuk.
"Apa aja, Kak, asal tidak merepotkan..."
"Engga lah, kau kan jarang kemari. Ini baru tumben," sebentuk senyum menghias wajahnya yang bersih, menambah cantik meski hanya tampil dengan daster bunga-bunga.
Ruangan ini begitu adem. Mataku menyapu berkeliling. Begitu banyak bunga-bunga memperindah tiap sudut, meski bukan bunga asli. Kutaksir yang di meja kaca ini harganya ratusan ribu. Belum lagi yang sebesar ukuran tubuhku di sana.
"Kenapa? Kau suka bunga juga?" tanya Kak Atik begitu muncul dari balik tirai terbuat dari kerang-kerang kecil yang dironce.
Di tangannya sebuah nampan berisi splash mangga dan semangkuk puding cokelat. Si kecil yang ikut serta, langsung tergiur vla putih yang tampak begitu lembut. Hmm...