Aku berdiri di teras sebuah rumah, di lantai dua. Bangunan kayu ini rasanya agak miring, setelah beberapa tahun lalu sempat terdampak gempa kecil.
Aku benar-benar gelisah. Duduk pun tak bisa. Alim sudah membujukku dengan segelas air mineral. Tapi isi tas yang hilang itu lebih penting dari sekedar duduk dan minum.
Bagaimana mungkin aku akan memulainya dari nol lagi? Aku sudah mengorbankan banyak waktu dan tenaga. Biaya apalagi. Beberapa riset yang kulakukan demi menyelesaikan skripsi, bukan hal remeh!
Seorang wanita tengah baya menaiki tangga perlahan. Tubuhnya yang gemuk, terdengar juga memberat di tiap anak tangga.
"Kita kasi tinggal dimana, barang ta?(sebenarnya, kamu meninggalkan barang itu, dimana?) tanyanya, dengan bahasa daerah setempat.
Aku agak kaget, mendengar nada suaranya. Sepertinya Aji ini keberatan anak tertuanya jadi tertuduh.
"Di motor, Aji," tukasku tak mau kalah.
"Cuma saya tinggal beli rokok dan fotokopi sebentar..."
Selintas sepasang mata tua itu menghujamku.
"Siapa pale yang suruh kau merokok?"Â (memangnya siapa yang suruh kau pandai merokok?) tanya wanita itu bertambah ketus.
Gila! Sepertinya dia mengalihkan pembicaraan.
"Barangkali kau salah simpan, baru kau tuduh Sikki bacuri ee?"Â (mungkin kau lupa menyimpan dimana, lalu kau tuduh Sikki pencurinya?)
Aku menelan ludah, sambil membanting pantatku di kursi.
Sejujurnya aku bahkan tak memperhatikan siapa yang berada dekat motorku waktu itu.
Menurut keterangan penjual minuman dingin dekat situ, hanya ada Sikki, lelaki pelo yang tak jelas bicaranya. Ia dan gerobaknya ada di sana, sedang mengemas-ngemas kardus bekas serta barang rongsok lainnya.
"Jadi siapa yang kasi tunjuk ko Sikki tinggal di sini?" (siapa sebenarnya yang memberitahu alamat Sikki?)
Ehem, ehem. Kudengar Alim pura-pura batuk.Â
Ah, apa lagi yang akan dilakukan si tengil ini?
"Sebelumnya kami minta maaf, Aji, bila kedatangan kami mengganggu Aji sekeluarga. Kami hanya ingin bertanya baik-baik sama anak ta..."
"E, anakku itu biar bodok begitu, tidak pernah mencuri, kasian..." (walaupun anak saya ideot, dia tidak pernah sekali pun mencuri..."
Ah ya, tentu saja setiap ibu akan membela anaknya. Mana dia tahu, berapa besar "arti" tas yang dicuri itu. Sebuah masa depan untuk menaklukkan calon mertua, bahkan dunia!Â
Aku harus jadi sarjana, untuk bisa mendapatkan gadis istimewa seperti Julia, calon manager bank.Â
Atau, aku harus diterima di perusahaan multinasional, supaya bisa menabung untuk memberangkatkan mamak ke tanah suci. Apa lagi cita-cita seorang lelaki?Â
Akulah yang kelak merawat emak, bukan kakakku Tuti. Dan lagi, tanpa masa depan cerah dan karir cemerlang, harga diriku bisa diinjak-injak siapapun istriku nanti. Fuih!
"He, Sikki, cepat kau kemari!" tegas sekali Aji ini. Suaranya menggelegar membuatku terlompat dari kursi.
Di kejauhan kulihat lelaki berkulit gelap dan kotor berjalan terseok mendorong gerobak kayunya yang cukup besar. Entah barang apa saja yang memenuhinya.
Aku dan Alim berjalan menuruni tangga, mengekor di belakang Aji, yang kali ini tampak menakutkan.
"Lama betul kau pulang,"Â tandasnya setengah menghardik lelaki pelo yang terengah nafasnya.
"Hawawawa...."
"Ini dorang batunggu dari tadi. Katanya kau curi tasnya dorang yang disimpan di motor. Dorang cuma pigi beli rokok."Â Aji terus mengonel dengan mata berkilat.
"Mamak tidak pernah ajarkan kau bacuri, ee..."
Tiba-tiba Aji terlihat kalap dan berusaha memukuli si pelo dengan potongan kayu dari gerobaknya.
"Hawawawawaaa..." lelaki itu berlari-lari menghindar sambil mulai menangis histeris.
"Aji, kasihan Aji..." lerai Alim tak kalah konyol.
"Delolelo hawawa lalilulelloo...." ah, apa lagi yang dia katakan? Dasar pelo!
"Kau tidak bohong?"Â
Lelaki itu menggeleng kuat, sambil mengusap air matanya.
"Awas memang kalau kau bohong!" ancam Aji lagi. Nada suaranya mulai menurun.
"Enhamaa..." ia memeluk lutut ibunya.
"Kau dengar?"Â
"Barangmu dititipkan sama tukang parkir. Karena sewaktu ko singgah di tempat fotokopi, ada ji orang incar-incar tasmu."
"Pigi tanya sama tukang parkir di sana. Bikin pusing saja!"
Di tempat parkir...
Lelaki kurus agak tua menyambutku dengan tas yang tampak berat. Tentu saja, karena isinya laptop dan berkas skripsi yang baru saja diperiksa dosen kampus.
"Aduuuuh... saya tidak tahu ini kau punya tas..."
"Saya tidak tau lee, waktu kamu orang pigi. Coba saya lihat, saya panggil..."
Aku hanya nyengir. Terserah Pak Tua itu mau ngomong apa, yang penting tas ini masih utuh.
Aku segera menyambutnya dengan sepenuh bahagia. Rasanya sama dengan lolos dari maut!
"Lain kali hati-hati, banyak pencuri."
"Untung Sikki lapor sama saya tadi..." celetuk kang parkir itu lagi.
Sikki? Ah ya, lelaki pelo itu.
Segera aku menepuk bahu Alim yang masih terbengong. Kami harus segera pulang.
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H