Atau, aku harus diterima di perusahaan multinasional, supaya bisa menabung untuk memberangkatkan mamak ke tanah suci. Apa lagi cita-cita seorang lelaki?Â
Akulah yang kelak merawat emak, bukan kakakku Tuti. Dan lagi, tanpa masa depan cerah dan karir cemerlang, harga diriku bisa diinjak-injak siapapun istriku nanti. Fuih!
"He, Sikki, cepat kau kemari!" tegas sekali Aji ini. Suaranya menggelegar membuatku terlompat dari kursi.
Di kejauhan kulihat lelaki berkulit gelap dan kotor berjalan terseok mendorong gerobak kayunya yang cukup besar. Entah barang apa saja yang memenuhinya.
Aku dan Alim berjalan menuruni tangga, mengekor di belakang Aji, yang kali ini tampak menakutkan.
"Lama betul kau pulang,"Â tandasnya setengah menghardik lelaki pelo yang terengah nafasnya.
"Hawawawa...."
"Ini dorang batunggu dari tadi. Katanya kau curi tasnya dorang yang disimpan di motor. Dorang cuma pigi beli rokok."Â Aji terus mengonel dengan mata berkilat.
"Mamak tidak pernah ajarkan kau bacuri, ee..."
Tiba-tiba Aji terlihat kalap dan berusaha memukuli si pelo dengan potongan kayu dari gerobaknya.
"Hawawawawaaa..." lelaki itu berlari-lari menghindar sambil mulai menangis histeris.