"Lihatlah aku, aku keluar rumah dengan baju serba panjang dan tertutup. Tanpa polesan di wajahku atau parfum apapun. Kau masih cemburu??"
Aku menelan ludah. Apakah aku sudah menyiksa Liana, istriku? Dia tampak begitu tertekan mengeluarkan kalimatnya. Dia tak peduli anak-anak mendengar pertengkaran kami.
"Mana ada maling mau ngaku?" kalimat ini meluncur tanpa kuduga. Konyol.
Sepertinya aku memang menikmati setiap kali Liana emosional. Nyatanya aku bisa tetap santai mendengarkan. Aku memang tak terpancing. Aku tak suka memukul Liana meski dia kadang keterlaluan.
"O, jadi aku maling?"
"Jadi aku harus mengaku seperti pikiranmu, supaya kau senang??"
Oh tidak. "Liana...!!!
Terlambat.
Darah mengucur dari genggaman pisau di perutnya. Liana bunuh diri. Kulihat matanya memejam dan wajahnya pucat. Kemudian ambruk ke lantai.
"Liana!!"
Aku terbangun dengan wajah berkeringat. Ternyata mimpi. Syukurlah.Â
Rokok di tanganku sudah jatuh ke lantai.Â
Kulihat Liana masih pulas. Tangannya merangkul si kecil yang imut.