Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Betapa...

2 Juni 2021   16:49 Diperbarui: 2 Juni 2021   22:26 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: image.shutterstock.com

"Kau egois, kau membabi buta!"
"Aku benci kau pencemburu!"
"Kau tinggalkanlah aku!"

Terkadang teriakan ini muncul lagi di kepalaku. Sudah cukup lama sejak pertengkaran terakhir aku dan Liana.

Aku tak berniat merusak suasana rumah yang adem ayem. Bahkan seluruh kekuatanku sudah kukerahkan. Tapi sulit kutahan rasa ini. Apalagi semalam Liana memutar video band cowok-cowok itu. Idola semasa dia SMU.

Beberapa malam ini aku menjadi sulit tidur. Di dadaku seperti ada batu besar. Rasanya berat dan sesak. Terkadang terasa seperti api panas yang sampai ke kepala.

Liana pernah bilang bahwa aku suami bodoh, tidak dapat menyelesaikan masalah. 

Aku tidak tersinggung soal itu. Juga ketika dia bilang aku "sakit"! Liana istriku, jadi aku harus menjaganya. Susah payah aku nenghidupi dia dan anak-anak.

Aku pernah menikah, sebelum dengan Liana. Tapi rasa cemburuku tidak sebesar ini. Walau sudah lebih sepuluh tahun kami menikah, aku masih sering gelisah di tempat kerja karena memikirkan Liana. Bagaimana kalau dia pergi dengan laki-laki lain? Atau ada laki-laki yang datang dan merayunya di tempat tidur kami?

"Loe harus bertemu psikiater, Ju. Kasihan istri dan anak-anak loe kalau gini terus..."

"Entar Liana beneran selingkuh, kalau loe tuduh-tuduh terus..."

Dasar kampret! Dodik malah nyumpahin. Dia belum tahu aja, rasanya istri minggat dengan laki-laki lain!

Rasanya percuma, menggubris teori ilmu kejiwaan. Apa namanya, psikologi? Lha, ilmu itu buatan manusia. Bisa dipelintir-pelintir.

Bukan masalah cantik. Liana itu istriku, jadi bukan milik orang lain. Nah, banyak kasus di luar sana, kalau suaminya dianggap kurang ganteng, kurang kaya, dan kurang-kurang yang lainnya, mereka para istri tinggal bilang "ya" pada lelaki hidung belang. Setelah kena batunya, balik deh sama suami.

Huwuuuhh!!

**

"Juno, hey!"

Sebuah suara saat aku hampir meninggalkan warung rokok di pinggir jalan.

"Tinggal di mana, sekarang?" Ridwan, tetanggaku dulu, menyalami tanganku. Mukanya makin jelek sekarang.

"Setelah aku pindah, kita nggak pernah bertemu lagi yaa..." selorohnya sambil tersenyum lebar.

"Aku juga sempat pulang kampung dua tahun. Ini belum lama kok..." kataku sambil mencari-cari "nyonya baru" yang dinikahinya sebelum pindah kontrakan kala itu.

"Bagaimana, sudah punya anak berapa?"

"Ah, belum sempat. Kami cerai."

"Bercanda sih," aku bersiap memacu motorku pulang. Kasihan kan, Liana di rumah.

"Istriku selingkuh, Ju. Gara-gara kerjaan proyek sering macet!

Aku menyesap kopi pahit yang kubuat sendiri. Liana sudah sejak tadi tidur bersama si kecil.

Ah, ia menghindari aku lagi. Katanya, kalau aku membentak atau menuduh dia lagi, ia lebih baik tidur dengan si kecil. Ia juga tak keberatan jika aku mengurus perceraian. Ah, segampang itu?

Aku masih susah tidur. Berkali-kali game online yang kumainkan berakhir kekalahan. Sepertinya aku gagal fokus. Sementara jam baru menunjuk pukul tiga. 

Aku mengambil dua bantal untuk kusandari. Lalu memantik macis yang hampir habis. Gumpalan asap putih pun mengepul. Ini penghuni terakhir bungkus rokok tadi sore.

Bayang-bayang wajah Ridwan yang menduda kedua kalinya, karena istrinya selingkuh, seperti hantu menari-nari. Belum lagi Pak Is, Joko, mereka semua bernasib sama. Ah.

"Kau ini sayang, apa tidak, sama istrimu??"

"Kau ini poseseif. Mentalmu sakit. Aku tidak mau jadi istrimu. Kau terobsesi dengan pikiranmu sendiri!" Liana memekik dengan mata melotot. Dia sangat marah, pasti.

"Kau lihat di luar sana. Bukan hanya kau yang jadi suami!"

"Dan istri mereka bisa berdandan cantik di salon. Bisa beli krim mahal. Bisa pakai lensa mata, bulu mata palsu, rok pendek, apalagi??"

"Lihatlah aku, aku keluar rumah dengan baju serba panjang dan tertutup. Tanpa polesan di wajahku atau parfum apapun. Kau masih cemburu??"

Aku menelan ludah. Apakah aku sudah menyiksa Liana, istriku? Dia tampak begitu tertekan mengeluarkan kalimatnya. Dia tak peduli anak-anak mendengar pertengkaran kami.

"Mana ada maling mau ngaku?" kalimat ini meluncur tanpa kuduga. Konyol.

Sepertinya aku memang menikmati setiap kali Liana emosional. Nyatanya aku bisa tetap santai mendengarkan. Aku memang tak terpancing. Aku tak suka memukul Liana meski dia kadang keterlaluan.

"O, jadi aku maling?"
"Jadi aku harus mengaku seperti pikiranmu, supaya kau senang??"
Oh tidak. "Liana...!!!

Terlambat.

Darah mengucur dari genggaman pisau di perutnya. Liana bunuh diri. Kulihat matanya memejam dan wajahnya pucat. Kemudian ambruk ke lantai.

"Liana!!"

Aku terbangun dengan wajah berkeringat. Ternyata mimpi. Syukurlah. 

Rokok di tanganku sudah jatuh ke lantai. 

Kulihat Liana masih pulas. Tangannya merangkul si kecil yang imut.

SELESAI

Ayra Amirah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun