"Bercanda sih," aku bersiap memacu motorku pulang. Kasihan kan, Liana di rumah.
"Istriku selingkuh, Ju. Gara-gara kerjaan proyek sering macet!
Aku menyesap kopi pahit yang kubuat sendiri. Liana sudah sejak tadi tidur bersama si kecil.
Ah, ia menghindari aku lagi. Katanya, kalau aku membentak atau menuduh dia lagi, ia lebih baik tidur dengan si kecil. Ia juga tak keberatan jika aku mengurus perceraian. Ah, segampang itu?
Aku masih susah tidur. Berkali-kali game online yang kumainkan berakhir kekalahan. Sepertinya aku gagal fokus. Sementara jam baru menunjuk pukul tiga.Â
Aku mengambil dua bantal untuk kusandari. Lalu memantik macis yang hampir habis. Gumpalan asap putih pun mengepul. Ini penghuni terakhir bungkus rokok tadi sore.
Bayang-bayang wajah Ridwan yang menduda kedua kalinya, karena istrinya selingkuh, seperti hantu menari-nari. Belum lagi Pak Is, Joko, mereka semua bernasib sama. Ah.
"Kau ini sayang, apa tidak, sama istrimu??"
"Kau ini poseseif. Mentalmu sakit. Aku tidak mau jadi istrimu. Kau terobsesi dengan pikiranmu sendiri!" Liana memekik dengan mata melotot. Dia sangat marah, pasti.
"Kau lihat di luar sana. Bukan hanya kau yang jadi suami!"
"Dan istri mereka bisa berdandan cantik di salon. Bisa beli krim mahal. Bisa pakai lensa mata, bulu mata palsu, rok pendek, apalagi??"