Akhirnya aku memutuskan menunggu di mobil. Sambil mendengarkan lagu dari ponsel, sepertinya asyik juga.
Tapi sesosok lelaki bertubuh kurus menyita perhatianku. Sepertinya aku mengenalnya. Oya, kalau tidak salah itu Adul, kan? Maksudku tentu saja Pak Adul. Ternyata benar, cerita ibu dan orang-orang.
Sebenarnya Mak Luna dan Adul, eh, Pak Adul juga perantau seperti kedua orang tuaku. Dulunya Pak Adul bekerja di perusahaan kayu dan mempunyai jabatan lumayan. Ia dan istrinya akhirnya membeli rumah sederhana dekat rumah ibu. Yaa kurang lebih seratus meter, kira-kira. Kami pun jadi tetangga.
Sayang tak lama kemudian perusahaan tempat Pak Adul bekerja gulung tikar. Pada zaman krisis moneter, waktu itu, dan aku masih SMP.Â
Mak Luna kemudian membuka usaha warteg. Ia beruntung, dan memang tepat memilih jenis usaha yang langka di daerah tempat tinggalku.
Hanya dalam hitungan kurang dari lima tahun, usahanya maju pesat sampai bisa merenovasi rumahnya menjadi dua lantai cukup mewah. Anaknya pun kesana-kemari dengan motor kebanggaan seharga puluhan juta. Sementara Pak Adul setia menjadi ojek pangkalan, kala itu. Oya, saat itu jauh dari zaman ojek online seperti sekarang yaa.
Menurut kabar burung, Mak Luna kian hari kian merasa bangga atas pencapaiannya. Suaminya diharuskan mencari uang sendiri dan dilarang membantu di warteg. Sudah ada lima pelayan, mau apa lagi? kilahnya.
Selain makin cantik dengan penampilan khas OKB, Mak Luna juga makin sombong. Yang dulunya cukup ramah dengan pelanggan (ya meski menurutku ramah yang dibuat-buat), sekarang cukup somse!
Menurut gosip yang beredar, Mak Luna akhirnya kepincut dengan sosok anak muda pengangguran. Ganteng sih, baik hati lagi. Eh.
Singkat cerita, Adul diceraikan dan dibuang keluar rumah. Karena tak mempunyai sanak keluarga di sini, akhirnya ia menggelandang mengharap uluran tangan. Kasihan sekali. Segera aku memutuskan untuk turun dari mobil dan menghampiri.
Aku melihat mata tuanya berbinar, saat merasakan lipatan uang berpindah ke tangannya.