Itulah mengapa, aku selalu berhati-hati saat bercakap-cakap dengan suamiku. Setidaknya sejak aku mengamati suami istri Mak Luna dan Adul. Aku merasa muak bercampur malu.
Belakangan, aku memang sering mampir di warteg mereka. Padahal masakan wanita berpostur gemuk ini, menurutku tak sedap sama sekali. Apa boleh buat, ibu suka sekali tempe bacem buatannya. Juga urap yang kata ibu krenyes. Mantap pokoknya!
Mungkin, dulunya mereka dipersatukan karena perjodohan orang tua, begitu pikirku. Apakah benar keduanya saling cinta? Kalau ya, seharusnya Mak Luna dan Adul saling bekerja sama, saling menghargai. Itu akan membuat hubungan kian mesra.
Pikiranku terus melayang-layang. Wajah cantik nan superior, terus memberi perintah remeh- temeh kepada Adul. Lelaki paruh baya itu mau saja, diinjak harga dirinya oleh istri tercinta.
Ah, benar tercinta? Mengapa tak terpikirkan? Mungkin itu sebabnya ia mau saja melakukan permintaan sang istri.
"Sampah di sini, coba dibuaaang.... Kok ndak malu dilihat oraaang....!"
Bapak dua anak yang bersiap menyendok nasi dari Magic Com, buru-buru meletakkan piringnya. Setengah tergopoh ia mengemas kantong dalam keranjang sampah. Mengambil pula satu ember pail berisi sampah basah dari dapur. Lalu buru-buru menghidupkan motor, melesat pergi dengan wajah kaku. Membuang sampah. Seperti itulah salah satu contohnya.
***
Lima tahun berlalu.
Jatah cuti kerja kali ini, Â kami manfaatkan untuk pulang ke rumah Ibu. Betapapun nikmatnya hidup di perantauan tetaplah lebih dari segalanya. Ada ibu di sana, dan kenangan semasa kecil. Ada teman-teman sekolah yang merindukan celotehanku. Kucing kesayangan, apalagi?
Dan yang sangat kusyukuri, Allah swt selalu menjaga ibu dan bapak selama aku berada jauh. Mereka sehat tanpa kurang suatu apa. Padahal di usia senja, bukankah riskan akan banyaknya penyakit?
Mereka juga tampak bahagia dan hangat. Meski kalau diingat-ingat, lebih dari setengah abad biduk keduanya menempuh onak duri.Â
Di hari ketiga, ibu masak istimewa, setelah dua hari sebelumnya kami habiskan berkeliling kota dan makan di luar.
Papuyu babanam, kuliner khas suku Banjar ini memang kegemaranku. Kami memang tinggal di lingkungan suku yang gemar maunjun (bahasa Banjar: memancing ikan). Ibu membeli dari Acil Iril seharga dua puluh lima ribu sekilonya. Istimewa karena ikan masih hidup dan fresh dari alam.Â
Dipadu sambal acan (sambal terasi) dan gangan krawila (sayur gambas), dijamin makanku nambah dari biasanya. Tapi tunggu...
Seingatku, ada yang kurang dengan menu di hadapanku. Tempe bacem, ya! Bukannya ibu tak bisa melupakan menu favoritnya ini?
"Sudah lama ibu ndak makan tempe bacem Mak Luna..." seloroh ibu. Tapi kenapa?
"Warteg nya sudah bubar, rumahnya kejual, Nduk..."
Aku bertambah bingung. Apa iya?
***
Sore itu, sebenarnya aku agak kurang sehat. Tapi suamiku harus bertemu kawan bisnisnya di sebuah kafe. Sejak dulu ia terbiasa membawaku kemanapun pergi. Ehem.
Sempat ia menawarkan supaya aku beristirahat saja dulu. Tapi entah kenapa kepalaku justru menggeleng.
Akhirnya aku memutuskan menunggu di mobil. Sambil mendengarkan lagu dari ponsel, sepertinya asyik juga.
Tapi sesosok lelaki bertubuh kurus menyita perhatianku. Sepertinya aku mengenalnya. Oya, kalau tidak salah itu Adul, kan? Maksudku tentu saja Pak Adul. Ternyata benar, cerita ibu dan orang-orang.
Sebenarnya Mak Luna dan Adul, eh, Pak Adul juga perantau seperti kedua orang tuaku. Dulunya Pak Adul bekerja di perusahaan kayu dan mempunyai jabatan lumayan. Ia dan istrinya akhirnya membeli rumah sederhana dekat rumah ibu. Yaa kurang lebih seratus meter, kira-kira. Kami pun jadi tetangga.
Sayang tak lama kemudian perusahaan tempat Pak Adul bekerja gulung tikar. Pada zaman krisis moneter, waktu itu, dan aku masih SMP.Â
Mak Luna kemudian membuka usaha warteg. Ia beruntung, dan memang tepat memilih jenis usaha yang langka di daerah tempat tinggalku.
Hanya dalam hitungan kurang dari lima tahun, usahanya maju pesat sampai bisa merenovasi rumahnya menjadi dua lantai cukup mewah. Anaknya pun kesana-kemari dengan motor kebanggaan seharga puluhan juta. Sementara Pak Adul setia menjadi ojek pangkalan, kala itu. Oya, saat itu jauh dari zaman ojek online seperti sekarang yaa.
Menurut kabar burung, Mak Luna kian hari kian merasa bangga atas pencapaiannya. Suaminya diharuskan mencari uang sendiri dan dilarang membantu di warteg. Sudah ada lima pelayan, mau apa lagi? kilahnya.
Selain makin cantik dengan penampilan khas OKB, Mak Luna juga makin sombong. Yang dulunya cukup ramah dengan pelanggan (ya meski menurutku ramah yang dibuat-buat), sekarang cukup somse!
Menurut gosip yang beredar, Mak Luna akhirnya kepincut dengan sosok anak muda pengangguran. Ganteng sih, baik hati lagi. Eh.
Singkat cerita, Adul diceraikan dan dibuang keluar rumah. Karena tak mempunyai sanak keluarga di sini, akhirnya ia menggelandang mengharap uluran tangan. Kasihan sekali. Segera aku memutuskan untuk turun dari mobil dan menghampiri.
Aku melihat mata tuanya berbinar, saat merasakan lipatan uang berpindah ke tangannya.
"Pak Adul masih ingat saya?" tanyaku iseng ingin tahu.
Dulu, saat aku kerap mampir membeli tempe bacem pesanan ibu, aku belum menikah, dan Pak Adul juga belum setua sekarang. Hanya saja ia memang tampak tak terawat dan wajahnya sendu. Tertekan oleh sikap istrinya sehari-hari.
Dibalik jenggot panjangnya, lelaki yang telah dilupakan jasanya ini, tampak menyungging senyum. Ia mengangguk setengah ragu.Â
Aku maklum saja.Â
Mungkin segala tekanan dan pelecehan yang diberikan Mak Luna, ditambah perselingkuhan sang  istri yang berujung ia diceraikan, serta kegetiran selama berada di jalan seperti ini, pasti sangat menyiksa. Jauh dari bayangan saat ia melakukan ijab kabul dengan sang calon pendamping hidup, Mak Luna.
Segera aku pamit pada Pak Adul, tetangga masa kecilku. Di dalam mobil, aku meluapkan tangisku.Â
SELESAI
Ditulis oleh Ayra Amirah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H