Singkat cerita, bayi berusia dua puluh lima hari itu telah diadopsi. Persis rencana mereka di masa lalu.
Ranti merupakan bayi terlantar yang ditinggalkan ibunya. Ia dititipkan pada lansia kenalan sang ibu. Sementara ayahnya entah lelaki yang mana. Menyandang status janda beranak dua, sang ibu kandung justru senang bermain api.
Bayi Ranti pun tumbuh besar. Tak terasa sudah enam tahun usianya. Ia hidup berlimpah cinta dan fasilitas. Pakaian yang bagus, makanan enak setiap hari, perhiasan emas, apalah lagi sekedar mainan mahal.
Tapi tampaknya ada yang salah. Ranti jauh lebih menyedihkan dibanding teman-teman sekolahnya. Tubuhnya kurus, serta raut wajahnya tak bersemangat.
Meski begitu, Ranti sangat hormat dan sayang pada ibu angkat. Ia paling takut sang ibu merajuk. Tanpa ia sadari dirinya hanyalah anak adopsi.
Di suatu bulan ramadhan, saat Ranti masih berusia enam tahun, gadis tak berdosa ini tampak begitu tak bergairah. Matanya sayu dan pipinya tirus. Ada bayang-bayang hitam di bawah matanya.
"Ranti habis sakit beberapa hari. Dia kecapaian berpuasa. Disuruh off dulu puasanya, Ranti ngga mau..."
Aku terperangah. Sakit?
Aku teringat sulungku yang hanya terpaut beberapa bulan dengannya.Â
Sulungku juga berpuasa, tapi hanya sampai waktu zuhur. Selanjutnya ia bebas makan apa saja untuk memenuhi nutrisi pertumbuhannya.
"Padahal ayahnya sudah bilang, permainan kasir tetap dibeli (saat itu seharga Rp 500.000). Nggak usah dipaksain puasanya?"