Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasihat Seorang Tua

19 April 2021   07:09 Diperbarui: 19 April 2021   19:31 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kwikku.us

Seorang tua, duduk di kursi kayu, teras rumah bapak. Kulit tangannya yang putih, menambah kesan pucat pada wajah. Di balik pet topi yang menyembunyikan rambut ubannya, ia tersenyum kepadaku, memperlihatkan gigi-giginya yang utuh dan rapi.

Kami memanggilnya Pak Luke, suami Bu Emma. Keduanya, sahabat ibu bapak. Dua tahun setelah ibu berpulang, beliau masih sering hadir. Kali ini untuk mengunjungi bapak, meskipun masih ingin bercengkerama dengan ibu juga.

"Bagaimana keadaan anak-anakmu?" suara tuanya bertanya.

Dari suamiku, aku sudah tahu ia mempunyai rasa peduli terhadap anak-anakku, karena mereka perempuan semua.

"Anak-anak baik-baik, Pak. Terima kasih atas bantuannya," kataku agak sungkan, karena seminggu lebih lupa berterima kasih sekedar via telepon.  Pak Luke telah memberikan tv berukuran besar, saat pindah ke rumah barunya.

"Oo... tujuan saya, supaya anak-anakmu tidak berkeliaran."

"Atau tidak menonton tv di rumah tetangga. Kasian tidak ada yang mengontrol tontonan yang mereka lihat."

"Oh, anak-anak saya tidak pernah kedua-duanya itu, Pak," buru-buru aku menyanggah.

Kira-kira itulah sifat kolotku sebagai ibu. Aku teramat kaku untuk bisa membiarkan anak-anakku menikmati dunianya yang bebas. Aku hanya memberi radius dua puluh meter dari rumah, untuk mereka bermain. Jarak segitu masih terdengar oleh telinga, apakah mereka baik-baik saja, masih tertangkap oleh mata, apakah mereka aman terkendali.

Aku ini ibu yang lebay. Selalu mengkhawatirkan, anak-anakku didorong oleh temannya hingga jatuh, saat betmain. Atau mempelajari cara teman-temannya bermain dengan berteriak menjerit histeris.

Aku melihat anak-anak ibarat sebuah bibit. Ia harus dirawat agar tumbuh subur dan baik. Jangan sampai anak-anak melihat contoh-contoh yang kurang baik atau kekerasan, sebab akan berdampak pada mereka nantinya.

"Saya dengar dari suamimu, anak-anakmu rangking satu setiap menerima raport?"

Aku mengangguk. 

"Selama pandemi dan anak-anak sekolah secara daring, kualitas pendidikan di Indonesia, kecerdasan, jauh menurun."

Aku agak terkaget. Tentang hal ini aku baru mengetahuinya. Pak Luke sangat mengikuti perkembangan.

"Banyak orang tua kesulitan mendampingi anaknya belajar. Anak-anak belajar di rumah, sudah malas bertanya pada guru. Beda di sekolah kan?"

Aku mengangguk-angguk, teringat anak tengahku pernah bertanya pada gurunya tentang soal yang tidak dia pahami. Ia bertanya tanpa sepengetahuanku, seharusnya memberitahu aku ibunya terlebih dulu.

Benar saja, pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. Sudah terlihat karakter guru ini dari awal. Pendidik yang tidak loyal. Nyatanya tak ada jawaban yang diberikan.

"Saya katakan pada suamimu, anakmu itu itu harus dirawat dan dididik sebaik mungkin, seteliti mungkin, karena mereka perempuan," nasihat seorang tua itu lagi.

"Untung anak saya dua-duanya laki-laki," ia tersenyum kecil.

"Kalau saya, tidak berani punya anak perempuan satu, lebih baik menjaga seribu kerbau. Benar kata pepatah itu," Pak Luke meyakinkanku lagi.

Ada-ada saja, pikirku dalam hati. Aku tak pernah paham dengan pepatah ini. Merawat seribu kerbau itu susah, sulit dan merepotkan. Tapi merawat dan mendidik anak perempuan dianggap lebih menyusahkan dan mengkhawatirkan. Bagaimana mungkin Allah memberi karunia anak perempuan, yang menyusahkan kedua orang tuanya?

"Pelaku bom bunuh diri di Mabes Polri itu kan wanita?"

"Ternyata dia tadinya seorang mahasiswa."

"Tapi semenjak ikut perkumpulan keagamaan yang mencuci otak dia, kuliahnya berantakan, sampai akhirnya di DO," aku mendengarkan seksama. 

Hal ini aku pun tak mengikuti perkembangan beritanya. Cukup membaca judul dan surat almarhumah yang dipublikasi. Selebihnya ikut menyayangkan.

"Suamimu bilang, anak sulungmu baru saja dia belikan ponsel ya?"

"Iya, Pak."

"Waktu suamimu cerita, saya bilang 'bagus!'. Suamimu langsung kaget."

"Anak-anak tidak mungkin dikekang dan dilarang. Dijauhkan dari kemajuan zaman."

"Yang penting ditumbuhkan rasa bertanggung jawab, disiplin dan dikontrol. Jangan lupa belikan pulsanya juga yaa," ia mencoba berkelakar. Aku hanya tersenyum.

"Ada yang saya mau pesan untuk kamu," kata seorang tua itu lagi.

Tentu saja aku tak keberatan. Ia dan istrinya, Bu Emma, keduanya memang baik dan perhatian kepada kami sekeluarga. Keduanya memang penyayang anak-anak.

"Ajarkan anak-anak sifat jujur dan disiplin sejak kecil. Ajarkan sebagai kebiasaan. Kalau sudah terbiasa dari kecil, sampai dewasa sifat tersebut akan tetap dibawa."

Aku mengangguk.

"Anak-anak, suatu hari akan lebih pandai, lebih cerdas dari orang tuanya. Kau dan suamimu, harus menerima dengan bijak. Jangan otoriter."

"Dan tentang uang, jadikan uang sebagai pelengkap kehidupan. Bukan sumber kehidupan."

"Kalau uang dijadikan sumber kehidupan, orang bisa nekad. Kalau dijadikan sebagai pelengkap, ada uang dan tidak ada uang, kita tetap tenang. Tidak perlu orang tahu kegundahan kita. Ya kan?"

Aku mengangguk lagi.

"Saya dengar kamu telaten mendampingi anak-anakmu belajar daring, ya?"

"Iya, Pak."

"Itu bagus."

"Adik saya, perempuan, posisinya manager di bank tempatnya bekerja."

"Saya suruh dia berhenti dari pekerjaannya. Biarkan suaminya memenuhi tanggung jawab sendirian. Daripada anak-anaknya tidak terurus. Bermain kesana- kemari tanpa pengawasan."

Aku tertarik mendengar cerita ini, dan langsung bertanya apakah nasihatnya didengar oleh adik perempuannya? seorang tua pun mengangguk pasti.

"Dia berhenti kerja dan mengurus anak-anaknya, sampai sekarang."

Aku tersenyum kagum. Sebuah keputusan yang besar. Beberapa kali cerita seperti ini pernah kudengar.

"Yang terakhir, ajarkan anak-anak besar hati untuk mencapai cita-citanya."

"Walaupun Bapak dia hanya pekerja kasar, bukan berarti mereka tidak bisa jadi orang besar. Ya kan?"

Aku mengangguk.

"Bukan saya mengecilkan suami kamu. Tapi orang tua akan bangga dan terangkat, ketika anak-anaknya berhasil. Ya, ngga?"

Aku mengangguk lagi. Tak terasa sudut-sudut mataku meneteska bulir keharuan. Ada seseorang yang peduli sejauh ini kepada anak-anakku di rumah.

Alhamdulillah, ya Allah.

Hamba berdoa kepada Engkau, dan Engkau hadirkan seorang tua yang menasihati suami hamba. Banyak kebiasaan suami yang berubah ke arah positip. 

Dan kepada hamba, ia juga menyampaikan nasihat yang penting. Sungguh Allah mahamenolong hamba-hambanya.

Aamiin

Ditulis oleh Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun