Ruang kamar ini terasa wangi, dan seakan lebih indah dari biasanya. Tapi lelaki itu semakin menjadi murung. Duduk memaku menekuri lantai.
Fatimah adalah istri yang setia. Bertahun-tahun menemaninya, saat dapur mereka jarang ngebul dan dingin-dingin saja. Bahkan saat mereka mempunyai bayi mungil dan hidup masih belum seenak sekarang.
Lelaki itu sangat beruntung, kata teman-temannya, bisa mendapat jodoh gadis cantik sebagai pertanggung jawaban. Lima belas tahun yang lalu Fatimah tak sengaja menyerempet kakinya. Hanya lecet sedikit, sebenarnya. Tapi keluarga Fatimah bermaksud menyerahkan anaknya untuk dipersunting.
Selanjutnya, lelaki itu mengajak Fatimah tinggal di sebuah rumah kontrakan. Letaknya di pemukiman padat penduduk. Segala gosip dan nyinyiran ada di sana.
Fatimah sebenarnya merasa tak nyaman. Ia ingin suaminya mendapatkan pekerjaan tetap agar mereka bisa segera memiliki rumah.
Delapan tahun lamanya, sampai telinganya menjadi biasa dengan kehidupan di sana. Belakangan malah Fatimah sudah tak lagi merasa risau, meski ia tetap memanjatkan doa untuk segera mempunyai rumah sendiri.
Bangunan semi permanen berukuran dua ratus meter persegi, hanya butuh menjentikkan jari bagi ayahnya.Â
Tapi Fatimah berat untuk melakukannya. Ia ingin suaminya mempunyai harga diri di mata siapa saja. Suami adalah imam baginya yang sangat ia hormati. Begitu pula Puput, anak semata wayangnya, selalu ia ajarkan untuk menghormati ayahnya.
Kapan lelaki itu menyadari hal ini? Menyadari kalau istrinya adalah wanita yang luar biasa.
Saat Puput beranjak dari masa kanak-kanaknya, bersiap memasuki sekolah Dasar, lelaki itu malah terpikat wanita lain.
Fatimah sempat menangis, dan memohon agar suaminya mengakhiri perbuatan dosa sekaligus aib keluarga ini.