Direnungkannya, siang dan malam perbuatan lelaki itu. Apakah karena ia kurang merawat diri? Apakah karena ia kurang melayani suaminya? Kurang senyum dan kurang hangat? Lupa menyajikan secangkir kopi saat suaminya pulang dari bekerja, misalnya?
Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Sampai sakit juga kepalanya. Ia pun minum obat agar sarafnya enteng.
Perempuan itu bernama Wati. Pernah suatu kali suaminya membawa ke kontrakan mereka. Perempuan itu tidak lebih cantik dari dirinya, tapi konon penyanyi papan atas sebuah kafe malam.
Biar bagaimana, Fatimah berusaha meyakini ini adalah bagian dari takdir Allah swt.
Bukankah setiap rumah tangga pasti diuji terlebih dulu untuk mendapatkan surga?
Hatinya memang perih, karena ia pun wanita biasa yang dapat merasakan sakit.
Tapi Fatimah tak mau berlarut-larut. Ia ingat suaminya sudah cukup baik sebelumnya. Berusaha memenuhi kebutuhan rumah tangga meski sangat kekurangan.Â
Ia juga berusaha menanamkan bahwa jika masih berjodoh dengan sang suami, perempuan mana pun tak akan berhasil merebutnya.
Dialihkannya segala kesedihan dengan mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada bunga-bunga di halaman.Â
Lelaki itu menatap nanar dari jendela kamarnya. Tampak pohon Kelengkeng yang berbuah rimbun, juga hasil tangan Fatimah. Jambu Kristal, serta beberapa jenis anggrek. Bagaimana kah nasib tanaman-tanaman itu nanti?
Ah, bukan itu sebenarnya. Tapi dirinya dan putri semata wayang mereka, Puput.