Pada kesempatan yang baik ini, saat anak-anak sibuk melihat kolam ikan kakeknya dengan ditemani Lilis, tak lupa kujelaskan secara lembut kepada beliau, mengapa aku memperlakukan Lilis seperti itu.Â
Mencemburuinya dari laki-laki lain, dan menjauhkannya dari jangkauan mereka.
Dengan perasaan yang masih berdebar, campur aduk antara takut dan berani: takut beliau tak cukup mengerti dan berbalik marah, berani karena yang kusampaikan ini untuk kebaikan Lilis sendiri dan rumah tangga kami, ternyata ayah Lilis menepuk sebelah bahuku dan berkata pendek: "bapak bangga padamu..."
Maka aku pun serasa mendapat durian runtuh. Hatiku senang sekali. Berarti beliau tak akan menganggap aku "gila" lagi, bahkan merasa bangga pada menantu sepertiku.
"Aaaaaaaahhhhhh....."
"Toloooooooong....."
Aku mendengar suara Lilis yang sedang menjemur pakaian di samping rumah, berteriak histeris. Kali ini aku melompat seperti orang gila.
Aku dan beberapa tetangga lalu melarikan Lilis ke rumah sakit. Anak-anak yang sejak selesai sarapan bubur ayam, terus bermain dan menjaring ikan di kolam kakeknya, juga ikut menemani ke rumah sakit.
Malang tak dapat ditolak, ketika dokter menemui kami setelah lebih dari satu jam menangani Lilis yang tak sadarkan diri.
Kalau tadi aku, anak-anak dan mertua gelisah dan sangat tidak tenang, terus berdoa demi kebaikan Lilis, kali ini harus rela langit di atas kami serasa runtuh!
Aku menatap wajah istriku sudah menampakkan rona kebiruan, pias dan kaku.Â