Aku jadi berpikir, apakah benar aku sudah berbuat kesalahan besar, sementara niat hatiku adalah untuk menjaga kesucian Lilis, putrinya?
Sehari, seminggu, aku masih berusaha tenang dan tidak terganggu. Sebagai menantu, aku wajib bersikap santun dan hormat kepada orang tua istriku.Â
Bagiku hal ini adalah prinsip sekaligus harga diri seorang lelaki, bisa menghargai orang tua yang sudah merawat, mendidik dan menjaga seorang anak yang kelak aku terpikat padanya, memujanya, dan memilihnya untuk menjadi ibu dari anak-anakku.
Tapi akhirnya aku tak tahan juga.Â
Dari bahasa tubuh beliau, seolah mengatakan aku ini laki-laki gila!
Dan arti kedua dari tatapan amarah beliau seolah mengatakan bahwa Lilis tak pantas mendapatkan jodoh seorang laki-laki sepertiku!
Jujur aku agak sedih juga, berada dalam situasi ini.
Pernikahanku dengan Lilis sudah berjalan tujuh tahun. Dan selama itu pula aku menjadi suami yang sangat mencemburui istri sebaik Lilis.
Aku tak membiarkan istriku itu pergi sendirian ke pasar tanpa aku mengantarnya. Jadi ia hanya boleh ke pasar saat aku libur kerja.
Aku juga tak mengizinkan Lilis aktif di media sosial, kecuali kalau ia setuju tak akan berteman dengan makhluk bernama laki-laki.Â
Selain itu, Lilis tak boleh menghadiri acara reuni dengan teman-teman sekolahnya dulu, yang mungkin saja akan membangkitkan memori indah zaman sekolah dan cinta pertamanya. Rasanya dunia kiamat, bila aku sampai mengizinkannya!