Sebenarnya aku lelaki biasa dan normal seperti pada umumnya. Aku bekerja setiap hari dari pagi sampai sore. Hari minggu tentunya libur. Dan sebagai suami, tentu saja aku sangat menyayangi istriku, Lilis.
Dari gajiku, kami sudah bisa memiliki rumah sendiri sekalipun kecil. Baru-baru ini aku juga membelikan Lilis sebuah gelang emas impiannya. Kebutuhan makan, pakaian, juga sudah kupenuhi.
Rumah tangga kami berjalan normal seperti rumah tangga lain. Bahkan aku merasa kalau Lilis sangat bahagia di dalamnya. Ia sama sekali tak pernah melayangkan protes, bahkan sangat nurut denganku.
Suatu kali, saat kami akan pergi memenuhi undangan pernikahan seorang teman, dari dalam kamar, Lilis muncul dengan gaun merah pemberianku, dengan sangat cantiknya. Lilis tampak anggun memukau.
Sebenarnya, aku senang melihat istriku tampil secantik bidadari dalam cerita imaji. Aku termasuk pemuja setia Lilis sejak masih pacaran sampai sekarang, bahkan saat kami sudah mempunyai dua orang putri.
Tapi untuk memuaskan mata lelaki lain di luar sana, bagiku itu tak mungkin. Aku tak akan mengizinkan istriku menjadi sasaran mata keranjang lelaki hidung belang.
Aku kemudian memintanya mengganti dengan gaun yang lebih sederhana. Dengan rela Lilis mengabulkannya dan masuk lagi ke kamar.
Apakah aku tampak picik?
Entahlah. Aku pun tak mengerti mengapa orang-orang di luar sana rela dan membiarkan saja istri mereka dijamah sembarang mata. Lalu mungkin saja para lelaki juga akan membawanya ke dalam mimpi. Mimpi tentang istri orang lain!
Ini bukan omong kosong.
Seorang teman pernah bercerita ini padaku. Bahwa dirinya sering bermimpi wanita lain, sekalipun sebenarnya ia sudah punya istri dan anak.
Apakah dia dan istrinya sedang gencatan senjata?Â
Sama sekali tidak.Â
Tapi entah kenapa, sosok wanita lain, begitu saja terekam di dalam kepalanya, sekalipun keduanya tak pernah akrab.
Jika Anda menyebutnya nafsu, itu pula lah yang ingin kuhindarkan dari Lilis istriku. Aku ingin ia terpelihara dari dosa, dan menjadi milikku saja seutuhnya.
Sekali lagi ini bukan opini.
Ini adalah sebuah perasaan yang sulit kulawan. Lagipula mungkin itu benar, bukannya berlebihan seperti yang dikatakan bapak mertua.
Suatu hari, seorang kurir sudah berada di teras kami dengan paket berisi gaun yang dipilih istriku di layar ponsel. Saat itu aku masih lima belas menit lagi sampai di rumah.Â
Aku sama sekali tak mengizinkan Lilis menemui laki-laki asing, yang mungkin saja nakal dan akan menyentuh tangan lembut istriku.
Maka dengan terpaksa aku menelpon bapak mertua yang tinggal di sebelah rumah, untuk menemui sang kurir. Dengan demikian kurir tak perlu menunggu lama, dan Lilis tak sampai digenitin laki-laki lain.
Tapi sejak kejadian hari itu, bapak mertua jadi jarang bicara padaku. Kalaupun kebetulan kami bertemu di halaman, beliau menatapku dengan mata amarah. Seolah aku mempunyai salah yang amat besar.
Aku jadi berpikir, apakah benar aku sudah berbuat kesalahan besar, sementara niat hatiku adalah untuk menjaga kesucian Lilis, putrinya?
Sehari, seminggu, aku masih berusaha tenang dan tidak terganggu. Sebagai menantu, aku wajib bersikap santun dan hormat kepada orang tua istriku.Â
Bagiku hal ini adalah prinsip sekaligus harga diri seorang lelaki, bisa menghargai orang tua yang sudah merawat, mendidik dan menjaga seorang anak yang kelak aku terpikat padanya, memujanya, dan memilihnya untuk menjadi ibu dari anak-anakku.
Tapi akhirnya aku tak tahan juga.Â
Dari bahasa tubuh beliau, seolah mengatakan aku ini laki-laki gila!
Dan arti kedua dari tatapan amarah beliau seolah mengatakan bahwa Lilis tak pantas mendapatkan jodoh seorang laki-laki sepertiku!
Jujur aku agak sedih juga, berada dalam situasi ini.
Pernikahanku dengan Lilis sudah berjalan tujuh tahun. Dan selama itu pula aku menjadi suami yang sangat mencemburui istri sebaik Lilis.
Aku tak membiarkan istriku itu pergi sendirian ke pasar tanpa aku mengantarnya. Jadi ia hanya boleh ke pasar saat aku libur kerja.
Aku juga tak mengizinkan Lilis aktif di media sosial, kecuali kalau ia setuju tak akan berteman dengan makhluk bernama laki-laki.Â
Selain itu, Lilis tak boleh menghadiri acara reuni dengan teman-teman sekolahnya dulu, yang mungkin saja akan membangkitkan memori indah zaman sekolah dan cinta pertamanya. Rasanya dunia kiamat, bila aku sampai mengizinkannya!
Aku memijit-mijit keningku, sambil duduk santai di teras menunggu Lilis selesai menjemur pakaian di samping rumah.
Tapi Anda jangan berpikir aku juga mencemburui sinar matahari yang jatuh ke pipi Lilis dan mungkin mengecupnya, sekalipun aku pernah membaca puisi seperti ini.
Atau bertanya apakah aku juga tidak rela air di kamar mandi mengguyur dan menyentuh seluruh tubuh Lilis, pagi dan sore pula. Tubuh molek yang mestinya hanya untuk aku, suaminya.
Tenang, aku tidak se"gila" itu.
Aku juga sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan ayah Lilis, bapak mertuaku.
Pagi tadi aku mengajak Lilis dan anak-anak gowes sekitaran tempat tinggal kami.
Saat melihat warung bubur ayam Pak Slamet, langganan kami, aku dan Lilis mampir dan membeli beberapa porsi.Â
Kami sengaja tidak makan di tempat, karena selain pengunjung sedang ramai, aku juga berniat makan bersama di rumah mertua.
Sesampainya di rumah, Lilis dan anak-anak tidak masuk dulu, melainkan langsung menuju rumah sebelah, rumah orang tua Lilis.
Aku menyusul beberapa menit kemudian, karena harus masuk ke rumah mengambil sandal terapi yang kupesan secara online.
Alhamdulillah, selain bapak mertua merasa senang atas kedatangan cucu dan anak semata wayangnya, beliau juga sangat senang menerima hadiah dariku.
Pada kesempatan yang baik ini, saat anak-anak sibuk melihat kolam ikan kakeknya dengan ditemani Lilis, tak lupa kujelaskan secara lembut kepada beliau, mengapa aku memperlakukan Lilis seperti itu.Â
Mencemburuinya dari laki-laki lain, dan menjauhkannya dari jangkauan mereka.
Dengan perasaan yang masih berdebar, campur aduk antara takut dan berani: takut beliau tak cukup mengerti dan berbalik marah, berani karena yang kusampaikan ini untuk kebaikan Lilis sendiri dan rumah tangga kami, ternyata ayah Lilis menepuk sebelah bahuku dan berkata pendek: "bapak bangga padamu..."
Maka aku pun serasa mendapat durian runtuh. Hatiku senang sekali. Berarti beliau tak akan menganggap aku "gila" lagi, bahkan merasa bangga pada menantu sepertiku.
"Aaaaaaaahhhhhh....."
"Toloooooooong....."
Aku mendengar suara Lilis yang sedang menjemur pakaian di samping rumah, berteriak histeris. Kali ini aku melompat seperti orang gila.
Aku dan beberapa tetangga lalu melarikan Lilis ke rumah sakit. Anak-anak yang sejak selesai sarapan bubur ayam, terus bermain dan menjaring ikan di kolam kakeknya, juga ikut menemani ke rumah sakit.
Malang tak dapat ditolak, ketika dokter menemui kami setelah lebih dari satu jam menangani Lilis yang tak sadarkan diri.
Kalau tadi aku, anak-anak dan mertua gelisah dan sangat tidak tenang, terus berdoa demi kebaikan Lilis, kali ini harus rela langit di atas kami serasa runtuh!
Aku menatap wajah istriku sudah menampakkan rona kebiruan, pias dan kaku.Â
Dosa apakah ini, ya Allah??
Aku pun menangis, terus menangis seperti laki-laki gila.Â
Luka bekas gigitan ular nampak begitu buruk dan jahat di mataku. Ia telah merebut Lilisku yang penurut dan setia.Â
Ular sialan itu telah membunuh wanita yang kucintai sekaligus kucemburui.
*ditulis untuk Kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H