Mohon tunggu...
Ayu Bejoo
Ayu Bejoo Mohon Tunggu... Jurnalis - Moody Writer

Moody Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Berawal dari Tebuireng untuk Indonesia

28 September 2016   15:56 Diperbarui: 28 September 2016   16:18 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik matahari siang itu menyentrik sekali. Bias hujan pagi nya sama sekali tak tampak, tidak ada sama sekali tanda-tanda yang menunjukkan kalau semalam kota itu diguyur hujan deras.

Di sebuah ruang di tengah kota :

Ruangan itu tampak carut-marut, berantakan sekali. Tidak tampak seperti kamar elite apartemen biasanya, malah mengalah-ngalahi kamar kost-an 200 ribuan /bulan milik mahasiswa yang supel sekalipun. Di semua sudut dalam ruangan, berceceran berbagai macam buku dengan keadaan yang sama, sama-sama terbuka. Di sudut paling ujung di sisi ruang, telihat seorang pemuda tengah berbaring, berbantalkan kedua tangannya, ia tak sedang tidur, matanya jelas-jelas terbuka lebar, pandangannya naik ke atas langit-langit putih ruangan.

Pandangan matanya memang terbatas langit ruang, tapi tidak dengan pandangan pikirannya, dua hari sudah, pikirannya menempuh batas ruang, tidak lagi dalam ruangan apartemen yang berbatas dinding-dinding putih, ia sudah keluar, jauh, ke tempat muasal sistim pergerakan dimulai, orbit jangkauan yang lebih putih dari sekedar dinding-dinding ruang. Ruangan tak ber- ruang. Ruang pikiran.

Dua hari sebelumnya :

Firdaus turun dari mobil merahnya tepat di pinggir jalan, di kanan jalan terlihat jelas sekali tulisan “Pondok Pesantren Tebuireng” tepat di pelataran gerbang masuk pesantren. Awalnya ia hanya mengamati sekitar, dimana-mana yang terlihat adalah anak-anak lelaki bersarung, bergerombolan mengelilingi mas-mas penjual jajanan, yang kedengarannya dipanggil dengan sebutan Cak. Banyak juga terlihat bus-bus yang terparkir sepanjang jalan, seperti rombongan wisatawan, bedanya, rombongan ini kebanyakan ibu-ibu dan bapak-bapak ringkih, yang cara bicaranya entah bahasa planet mana, medok. Firdaus sama sekali tidak mengerti.

Firdaus sempat tergerak hatinya ingin melangkah masuk, namun ia urung. Berpikir lagi, mengapa ia bisa menerima saran temannya untuk berselancar ke Pondok Pesantren ? kualahan ia beradu cakap dengan temannya tentang pesantren, dan lagi-lagi temannya memojokkannya dengan  langsung memberikan alamat lengkap pesantren tersebut. Awalnya ia tidak tertarik sama sekali, berhari-hari kertas alamat itu tergeletak tak diperhatikan empunya, hingga suatu hari konflik sabab musabab keluarganya lagi-lagi membuat dirinya ingin mencari tempat bertenang, berakhirlah ia di situ, di depan gerbang pesantren.

Firdaus lagi-lagi mengurungkan niatnya untuk melangkah beberapa meter kedepan, ia malah kembali masuk ke dalam mobil merahnya. Ia menstarter mobilnya, lalu bergerak perlahan. Takdir memang tidak bisa dihindari, toh pada akhirnya yang telah berniat pergi pun akan kembali. Ia menghentikan mobil merahnya, lagi, tak jauh dari tempat pemberhentian awalnya. Ia turun lagi. Mencari kedai. Tempat mengganjal perut.

Waktu maghrib sudah sejam yang lalu berlalu, Firdaus masih saja berkutat dengan laptop dan kopi-nya. Kiri kanan, berpeci. Depan belakang, berpeci. Mungkin hanya aku yang bukan muslim di sini, resahnya dalam hati.

“Mas ga melu ndelok PG ta Mas ?” Firdaus ditanya,

“Oh, bukan orang jawa ya Mas? Hehe” Cak nya berucap lagi,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun