“Jadilah bagian dari diriku, Samir” Naina berbinar,
“Sudah, sejak dulu, Naina” Jawab Samir,
“Lalu?” Naina bertanya,
“Aku tetap rindu, Naina, Aku ingin segera bersamamu, benar-benar bersamamu, selamanya, tak terikat waktu, bebas bersamamu, Naina” Samir menangis.
“Aku milikmu Samir” Hela Naina,
22 September 2015
Hujan.
Samir mendelik didalam kamar, menyeringai, tak kuasa menahan rindu yang terus berkembang. Kamarnya rapi, penuh dengan lukisan yang tak beranalogi, buku bacaan tersusun di beberapa rak kayu, terkesan lelaki teladan.
Diluar masih hujan, Samir meringkik diatas kasur, mengumpat dalam hati, tak tahu kah hujan bahwa hari ini adalah hari miliknya, tak tahu kah hujan bahwa ia telah menunggu sekian lama nya, bertaruh kepada masa, tak pernah kah hujan seperti dirinya? Ah, hujan tak pernah jatuh cinta ! Hujan tak memiliki rindu ! Hujan tak memiliki Naina !.
Samir mengoceh kepada hujan, hanya setahun sekali ia bertemu Naina, apakah hujan masih ingin cemburu? Jangan cemburu hujan, kau bisa bertemu denganku 364 hari dalam setahun, aku milikmu, tapi tidak dihari ini. Resah Samir.
Tok tok . . .