22 September 2012
“Naina?”
“Iya Samir?”
“Aku rindu”
“Aku disini Samir, bersamamu”
“Tapi aku tetap rindu, Naina”
“Haha, aneh !” Desir Naina,
Samir mengulum tawa kemenangan.
“Naina?”
“Iya Samir?”
“Kau sebut apa dirimu?” Tanya Samir,
“Brownies !” Jawab Naina seleha-nya,
“Meskipun tampak tidak indah, hitam, bintik-bintik, keras, berbau, tapi tetap menarik untuk dicoba, dan ketika kau mencobanya, kau akan merasakan candu olehnya, meskipun tanpa nikotin didalamnya” Terangnya lagi.
Samir terkekeh, Naina pun.
“Aku ingin jadi pemilikmu selamanya, Naina” Samir berucap disela tawa.
“Aku pun, Samir” Balas Naina, sambil mengeratkan rangkulan tangannya, melingkari perut kecil Samir.
22 September 2013
“Naina?”
“Iya Samir?”
“Jangan pergi lagi yaa?” Pinta Samir, sembari merebah kepalanya diatas bahu Naina.
“Aku disini Samir, bersamamu”
“Janji ?” Samir memanja,
“Apapun untukmu Samir” Bibir merahnya merekah, Naina tersenyum renyah.
Samir terdiam, sekejap.
“Naina?”
“Iya Samir?”
“Kau sebut apa dirimu ?” Tanya Samir, lagi.
“Es Krim” Balas Naina, sekena-nya.
Samir menunggu, lama.
Naina tetap tersenyum, tak lanjut bicara.
“Kenapa Es Krim ?” Tanya Samir penasaran.
“Karena kamu suka ! hehe” Naina mengulum senyum kemenangan.
Samir terkekeh, Naina pun.
22 September 2014
“Naina?”
“Iya Samir?”
“Kau berbohong Naina, “ Samir kalut,
“Aku disini Samir, bersamamu” Naina memeluk erat Samir.
“Aku tidak ingin kehilangan dirimu, Naina” Manja Samir,
“Aku pun, Samir” Naina mendekap.
Naina menunggu Samir berucap, lama.
Nihil.
“Samir?” Panggil Naina, masih dalam dekapan Samir.
“Iya Naina?” Sahut Samir,
“Jadilah bagian dari diriku, Samir” Naina berbinar,
“Sudah, sejak dulu, Naina” Jawab Samir,
“Lalu?” Naina bertanya,
“Aku tetap rindu, Naina, Aku ingin segera bersamamu, benar-benar bersamamu, selamanya, tak terikat waktu, bebas bersamamu, Naina” Samir menangis.
“Aku milikmu Samir” Hela Naina,
22 September 2015
Hujan.
Samir mendelik didalam kamar, menyeringai, tak kuasa menahan rindu yang terus berkembang. Kamarnya rapi, penuh dengan lukisan yang tak beranalogi, buku bacaan tersusun di beberapa rak kayu, terkesan lelaki teladan.
Diluar masih hujan, Samir meringkik diatas kasur, mengumpat dalam hati, tak tahu kah hujan bahwa hari ini adalah hari miliknya, tak tahu kah hujan bahwa ia telah menunggu sekian lama nya, bertaruh kepada masa, tak pernah kah hujan seperti dirinya? Ah, hujan tak pernah jatuh cinta ! Hujan tak memiliki rindu ! Hujan tak memiliki Naina !.
Samir mengoceh kepada hujan, hanya setahun sekali ia bertemu Naina, apakah hujan masih ingin cemburu? Jangan cemburu hujan, kau bisa bertemu denganku 364 hari dalam setahun, aku milikmu, tapi tidak dihari ini. Resah Samir.
Tok tok . . .
“Samir?” Samir mendengar suara Naina,
Naina dibawah jendela kamar Samir, basah kuyup, gadis berparas ayu, berbaju biru, dengan sepasang sepatu highheels yang ditenteng.
Diatas bangku kayu, dibawah rinai hujan.
“Naina?”
“Iya Samir?”
“Kenapa kau datang Naina, sekarang sedang hujan, aku tak ingin kau sakit” Ucap Samir pelan,
“Aku akan sakit kalau tidak bertemu dengan mu, Samir” Balas Naina,
“Samir?”
“Iya Naina?”
“Aku rindu, Samir” Naina menatap Samir,
“Aku lebih, Naina” Hela Samir.
22 September 2016
“Naina?”
“Iya Samir”
“Kau anggap apa dirimu?”
“Kau !” jawab Naina,
“Aku adalah kau, Samir, didalam dirimu aku melihat diriku, padamu aku merindu, aku adalah dirimu yang lain Samir” Hela Naina.
Samir tersenyum, rangkulannya semakin erat.
“Kau adalah sepaket September ku, Naina” Naina tertawa renyah,
Diatas kasur. Samir dan Naina masih mengusung rindu yang tak berukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H