Pagi sekali, sangat. Aku duduk tertegun menerawang kedepan, menikmati nyanyian lautan, dilatari tarian ombak, sangat menikmati. Aku berselonjor diujung pelantar, dengan kepulan asap dari secangkir kopi yang kubuat, barusan. Kopi kesukaan Bapak. Kopi racik termurah, dengan segala rasa ‘terserah’.
Bapak suka kopi. Satu-satunya yang kutahu tentang Bapak. Aku anak Bapak, tapi aku tidak pernah mengenal Bapak. Bapak tidak pernah bercerita panjang lebar, layaknya seorang Bapak kepada anaknya, padahal kata orang, Bapak adalah seorang pencerita yang handal. Bapak tidak pernah mengajariku belajar, menemani pun tidak, padahal kata orang, Bapak adalah seorang manusia ber-otak dewa dengan segudang perhatian yang dia miliki. Aku tidak pernah percaya apa yang ‘orang bilang’, aku selalu percaya apa yang ‘aku temukan’. Dan aku menemukan Bapak tidak seperti yang orang bilang. Aku kecewa.
Bapak suka kopi. Suatu fakta yang aku jadikan alasan agar bisa berdekatan dengan Bapak, satu-satunya fakta yang menguntungkan dari sekian ribu fakta yang seharusnya memang tidak ada. Fakta terbaik dari seluruh produk fakta yang seharusnya aku ketahui sepuluh tahun lebih cepat, ternyata jauh tersimpan untuk sepuluh tahun agak lambat. Fakta terbaik bersembunyi dengan baik, tak tersibak sedikitpun, hingga waktu terbaik menyibaknya. Fakta yang membuat aku berselonjor disini, diujung pelantar, disamping secangkir kopi, kopi kesukaan Bapak. Sambil menikmati.
--------
Namaku Firman, pengusaha muda yang kaya raya, baik hati dan tidak sombong. Aku tidak suka kopi, tapi aku mahir membuatnya. Aku punya dua anak, tapi tidak punya seorang pun istri. Aku juga tidak bisa melahirkan seorang pun anak, tentu saja aku ini manusia,tapi tetap saja aku bukan perempuan. Aku tidak ditakdirkan untuk melahirkan, malah sebaliknya, aku dilahirkan untuk mentakdirkan. Aku membuat takdir dengan berjalan, menelusuri jalan setapak menuju panti asuhan, caraku membuat takdir. Oke simple. Aku bahagia. Typo. Kami bahagia. Kami, aku dan dua anakku.
Namaku Firman, lelaki dewasa berumur 25 tahun. Anak pertamaku Reihan, 13 tahun. Putih, berambut ikal, tampan. Anak keduaku Zahra, 10 tahun. Manis, manis, dan manis. Kami tinggal bertiga, tidak, berempat, satunya lagi Sholihah, Sholihah bukan istriku, dia kucing kesayangan Zahra. Aku juga sempat bingung, saat pertama kali mendengarnya.
Enam bulan yang lalu, aku sedang menonton televisi bersama Rei, tiba-tiba Zahra berlari kearahku sambil menangis terisak-isak, dia berkata “Pa, sholihah hilang!”. Aku panik, jujur. Aku sempat berpikir, apakah Sholihah itu teman sekelasnya, atau gurunya atau penjual ketoprak kesukaannya. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, Sholihah hilang!. Gawat!. Aku hampir menghubungi polisi seandainya saja Rei tidak memberitahuku kalau Sholihah itu nama kucing kesayangan Zahra.
Namaku Firman, aku bukan seorang pencerita yang handal, seperti Bapak yang ‘orang bilang’. Tapi setidaknya, aku tak butuh titel ‘pencerita yang handal’ untuk sekedar membaca dongeng buat anak-anakku, bukan?. Anak-anakku menyukai seluruh ceritaku, cerita dari seorang Papa yang bukan pencerita yang handal, mungkin itu lebih baik, oke double baik, dari sekedar yang ‘orang bilang’. Pernah sekali, aku telat pulang kerumah, tak seperti hari-hari biasanya.
Hari itu, aku memimpin rapat di Malaysia,salah satu staf pribadiku mengusulkan membuka objek wisata bertema Indonesia, di Kuala Lumpur. Dalam kamus bisnisku, aku harus terjun sendiri dalam pemilihan tempat, penentuan segala macam. Aku tidak suka segala sesuatu yang tidak sesuai dengan seleraku, aku ‘rewel’, dan itu sebuah pernyataan. Pesawatku delay 2 jam, cuaca buruk. Meskipun aku memaksa seperti biasa, tetap saja tidak bisa, pada waktu cuaca buruk tidak dapat dilakukan penerbangan.
Aku tiba dirumah, hampir tengah malam. Aku segera menuju anak tangga, pikiranku hanya dua, kamar Reihan dan Zahra. Baru satu anak tangga yang aku pijaki, aku merasakan, aku tahu, aku melihat mereka. Mereka disana, di meja makan, tertidur. Anak-anak nakal, tidak mau makan kalau tidak ada Papa. Malah menunggu berjam-jam. Malam itu, ada buliran airmata yang tiba-tiba jatuh, aku sayang mereka. Aku rindu Bapak, aku teringat Bapak. Aku menangis.
Aku tahu, banyak yang bertanya-tanya, karena aku adalah seorang Firman, pengusaha muda yang kaya raya. Mengapa tidak mencari pendamping hidup? Mengapa tidak membayar seorang pekerja rumah tangga saja? Menyewa bodyguard? Bahkan satpam, untuk rumah sebesar itu tidak ada?. Aku tahu apa yang orang-orang pikirkan, sayangnya, aku tidak hidup atas dasar ‘pikiran orang-orang’. Aku tidak hidup atas dasar yang ‘orang bilang’. Aku hidup atas apa yang aku temukan, dan aku ‘cukup’ bahagia. Typo. Kami, aku dan anak-anakku.
Pernah suatu pagi dihari Minggu, Reihan menghampiriku diruang kerjaku. Dan dia membawa sesuatu diatas nampan, secangkir kopi. Dia menatapku lamat-lamat. “Papa, ini Rei bikinin kopi buat Papa, kopi pertama buatan Rei, tadi malam Papa ngasih pertanyaan kan ke Rei, pertanyaan pertama dari seluruh produk cerita yang Papa ceritain, Rei nggak tau mau jawab gimana, Rei bingung, Rei tahu Papa nggak suka kopi, Papa adalah Papa terbaik yang Reihan dan Zahra punya, Papa superhero kita, kita sayang Papa, kopi ini jawaban buat pertanyaan Papa, kopi ini bentuk simbolis sayang Reihan dan Zahra ke Papa, kopi ini emang kopi racik murah, kopi biasa, nggak mungkin bisa ngalahin semua cerita kopi milik Papa, apalagi bisa ngalahin kopi buatan Papa, tapi seenggaknya, kopi ini dibikin dengan tulus dari anak Papa yang tampan”. Reihan nyengir, dia mengakhiri seluruh cerita mengagumkan dengan sebuah cengiran, cengiran anak tampan berambut ikal, cengiran termanis, dari anakku.
Satu tegukan, lengkap. Cukup lengkap buat sebuah jawaban, cukup sempurna untuk membawa aku kemasa-masa itu, masa-masa Bapak, aku bersama Bapak.
--------
Bapak, Bapakku seorang nelayan kecil. Kami tinggal disebuah pulau kecil, perbatasan Singapura. Rumah kami kecil, berdinding papan, beratap ijuk, tanpa teras, hanya pelantar, diatas laut. Aku hanya tinggal bersama Bapak, Ibu sudah meninggal dunia saat aku berusia 5 tahun, aku anak tunggal, satu-satunya anak dan teman hidup Bapak. Bapak pendiam, tak banyak bicara. Tidak pernah meninggalkan rumah, selain pergi melaut.
Setiap sore, Bapak pergi melaut, seorang diri. Tidak pernah mau kalau aku ingin membantu, ingin ikut, padahal si Abror anak pakcik Rahmat selalu ikut bapaknya melaut, padahal si Sultan anak pakcik Salim selalu ikut abangnya melaut. Semua teman-temanku pernah melaut, pandai menyelam, jago menjala, cuma aku yang tidak, tidak bisa segala hal yang berhubungan dengan laut.
Bapak hanya menyuruhku tekun belajar, belajar dan belajar. Bapak mungkin tidak mau aku menjadi nelayan, sama seperti orang-orang disini, aku tahu itu, tapi aku tidak tega melihat Bapak. Bapak sudah tua, melaut dengan sampan kecil, dengan jaring yang jarang mendapat ikan, jaring yang hanya beberapa utas saja, jaring yang sudah lama. Sampan Bapak pun sering bocor, dua hari sekali pasti dibawa kedarat, ke pantai, dipakal, ditampal dengan sabut. Tapi tetap saja, selalu bocor.
Setiap sore, aku selalu melepas Bapak, duduk diatas pelantar, berdo’a agar Bapak dapat ikan banyak, hanya itu yang aku lakukan. Berkhayal mendapatkan duit sepeti, didalam gelombang ombak yang menerjal karang. Mungkin saja, ada seorang miliarder yang sedang naik helikopter, lalu tiba-tiba angin puting beliung datang, menghantam helikopter, dan salah satu peti duit yang dibawa sang miliarder jatuh kedalam lautan, hanyut, dan berakhir di pantai dibawah rumahku. Lalu aku menemukannya, dan menjadi miliarder selanjutnya. Oke, khayalan yang sangat indah.
Faktanya, aku hanya dirumah. Belajar, belajar dan belajar. Menunggu Bapak pulang. Biasanya bapak pulang pagi, saat sang surya menyinari dunia. Aku siap menunggu Bapak, dengan secangkir kopi, kopi racik termurah, kopi kesukaan Bapak. Apa yang aku suka? Senyum Bapak, mata sayu Bapak. Secangkir kopi, suatu fakta Bapak adalah pecinta kopi yang aku jadikan alasan agar bisa berdekatan dengan Bapak, kalau tidak dengan momen ini, aku tidak pernah dekat dengan Bapak, tidak sedekat ini. Mendapatkan keberkahan senyum Bapak, senyum dibalik tubuh yang lelah.
Hidup ini memang tergantung kondisi, apapun itu. Seluruh partikel kehidupan, diatur oleh kombinasi situasi, dirancang dari kondisi tertentu. Sama halnya perasaan. Tak jarang, rasa tidak tega ku bertransformasi menjadi satu perasaan yang mencengkam, khawatir. Saat situasi dibulan-bulan tertentu. Saat cuaca sedang dalam keadaan tidak baik, bahkan double tidak baiknya.
Aku khawatir, sangat. Meskipun rumah kami gubuk diatas laut, yang sewaktu-waktu diterjang angin badai, sekali saja, bisa menghilang, aku tak pernah khawatir. Yang aku khawatirkan, Bapak di laut. Laut lepas. Diatas sebuah sampan kecil, dengan gelombang besar, badai, segala macam bentuk ketidakbaikan keadaan. Aku khawatir.
Menjadi seorang nelayan kecil, harus siap dengan segala resiko yang ada. Dari tidak makan, kalau tidak mendapat ikan, hingga bertaruh nyawa pada kematian. Aku tidak pernah mengeluh, tak pernah berkecil hati, kalau nyatanya Bapakku seorang nelayan kecil. Aku tidak pernah merasa terasingkan, merasa tak dipedulikan, kalau nyatanya Bapakku selain seorang nelayan kecil juga seorang yang sangat pendiam. Ada saat-saat aku kecewa, saat dimana aku menjual ikan di toke Acang, seorang toke berdarah Tionghua.
Orang yang paling kaya dipulau ini, tidak hanya pulau kecil ini, mungkin lebih lagi. Setiap nelayan dipulau ini dan pulau sekitar akan menjual hasil tangkapan kesini, ketempat toke Acang. Memang benar ternyata, apa yang dikatakan pakcik Daud, Bapaknya si Lina “Surganya orang Tionghua itu didunia, semuanya milik mereka, lihatlah toke Acang dipulau kita ini, tengoklah toke Atang pemilik Mall terbesar di ibu kota, perhatikanlah toke Lieng pemilik hotel-hotel ternama diberbagai kota besar yang ada di televisi, semua pembendaharaan dunia dipegang keturunan Tionghua,telak sudah, kalau ada orang miskin padahal dia keturunan Tionghua, mungkin takdirnya memang kesengsaraan. Menggenaskan”. Begitu kata pakcik Daud. Dalam hati, aku membenarkan.
Tapi bukan surga dunia yang ternyata pemiliknya Tionghua yang aku kecewakan, tapi pakcik Zaki, penimbang ikan di tempat toke Acang. Setiap aku menjual ikan, pasti dia selalu berbicara tentang Bapak, hal-hal yang sangat luar biasa jika orang bodoh yang mendengarnya, jika orang yang tidak mengenal Bapak pasti akan sangat mudah mempercayainya.
Tapi bukan aku. Aku tidak sebodoh itu. Aku ini anak Bapak, satu-satunya teman hidup Bapak. Aku tahu Bapak. Mana mungkin Bapak lulusan terbaik di Universitas terbaik negeri ini, mana mungkin anak seorang Dewan Rakyat mau menjadi nelayan kecil, bullshit. Aku kecewa.
Saat aku membeli sebungkus asam di kedai cik Mai, juga merupakan saat-saat mengecewakan. Cik Mai selalu bercerita tentag Bapak, mana mungkin Bapakku yang sangat pendiam, tak pernah bersosialisasi dengan sekitar, tak pernah keluar rumah selain pergi melaut, adalah seorang periang, pencerita yang handal, dengan segala penambahan lebih-lebihan ala cik Mai. Aku tidak percaya. Sama sekali tidak. Aku tidak hidup atas segala yang ‘orang bilang’.
Aku hidup atas apa yang aku temukan, dan aku menemukan Bapak adalah seorang nelayan kecil, yang menggadaikan nyawanya kepada kematian demi aku. Yang aku temukan, Bapak adalah seorang pekerja keras demi aku, hidup untuk hidupku. Seorang pecinta kopi yang aku banggakan, satu-satunya orang didunia ini yang aku buatkan kopi. Bahkan tidak untuk diriku sendiri. Aku tidak suka kopi, tapi aku mahir membuatnya. Aku selalu membuatkan Bapak secangkir kopi, tapi aku sendiri tidak pernah merasakannya, kopi buatanku sendiri. Aku dedikasikan kopi-kopiku untuk Bapak, untuk mendapatkan sebuah senyum keberkahan dari Bapak, Bapakku.
--------
Aku masih disini, diatas pelantar rumah kami, rumah aku dan Bapak.
Lautan adalah the beautiful liar, terlihat tenang dipermukaan, sangat menenangkan. Sangat menakjubkan. Tak tampak sedikitpun kegetiran dari setiap partikel kehidupan yang hidup dibawahnya. Lautan yang tenang telah mengambil Bapak, apapun bentuk ruh asli dari sisi ciptaan yang bernama lautan, dia telah merenggut Bapak dariku. Pagi itu, secangkir kopi Bapak tak habis, tak pernah tersentuh. Dan tak pernah ada lagi secangkir yang lainnya, dipagi selanjutya.
Aku masih disini, ditemani setengah cangkir kopi, sambil menikmati.
Banyak yang berubah setelah kepergian Bapak, aku belajar dari banyak hal. Bahwa hidup tak selamanya tentang kebenaran dan kenyataan. Bahwa hidup tak bisa dipahami, hanya dengan apa yang kita temukan. Karena pada hakikatnya kebenaran dan kenyataan tidak pernah bisa ditemukan. Aku belajar, belajar dan belajar.
Sepuluh tahun sudah, semua sudah tersibak, fakta terbaik yang tersembunyi sudah menampakkan diri. Mengarahkan kepada hakikat hidup itu sendiri. Dan aku masih disini, diujung pelantar rumah kita pak, rumah gubuk kita. Kenyataannya, apa yang ‘orang bilang’ tentang Bapak adalah kebenaran, sementara kenyataannya adalah apa yang telah aku temukan, sekarang. Aku rindu Bapak.
Sang surya sudah mulai meninggi saat handphoneku berdering, sudah tidak pagi lagi. Aku baru saja akan beranjak, ketika Reihan meniti pelantar dibelakangku, dia membawa nampan, dengan secangkir kopi diatasnya. Masih dengan cengirannya, “ Pa, kopi Rei, udah Rei kasih nama, namanya kopi ketulusan, hehe”. Tiba-tiba Zahra datang, dengan segala kemanisan yang dia miliki, beserta keceriaan suaranya “Papa, kopi buatan Papa biar Zahra aja yang kasi nama ya? Namanya k-o-p-i- k-e-h-i-d-u-p-a-n, hehe baguskan Pa?”
Tuhan, demi apa.
Bapak. Aku bahagia Pak, terima kasih Pak.
Bapakku, seorang nelayan kecil yang bermimpi besar. Seseorang dengan kadar kepercayaan yang sangat tinggi, menunjukkan betapa kerja keras sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Pencapaian dari nol. Tidak semestinya ada karena sesuatu yang telah ada. Harus ada sesuatu yang diadakan dari ketiadaan.
Bapakku, seorang pecinta kopi yang sangat aku kenal.
Aku menjual kopi, seharga senyum keberkahan Bapak.
Hanya untuk Bapak. Kopi Bapak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H