Pernah suatu pagi dihari Minggu, Reihan menghampiriku diruang kerjaku. Dan dia membawa sesuatu diatas nampan, secangkir kopi. Dia menatapku lamat-lamat. “Papa, ini Rei bikinin kopi buat Papa, kopi pertama buatan Rei, tadi malam Papa ngasih pertanyaan kan ke Rei, pertanyaan pertama dari seluruh produk cerita yang Papa ceritain, Rei nggak tau mau jawab gimana, Rei bingung, Rei tahu Papa nggak suka kopi, Papa adalah Papa terbaik yang Reihan dan Zahra punya, Papa superhero kita, kita sayang Papa, kopi ini jawaban buat pertanyaan Papa, kopi ini bentuk simbolis sayang Reihan dan Zahra ke Papa, kopi ini emang kopi racik murah, kopi biasa, nggak mungkin bisa ngalahin semua cerita kopi milik Papa, apalagi bisa ngalahin kopi buatan Papa, tapi seenggaknya, kopi ini dibikin dengan tulus dari anak Papa yang tampan”. Reihan nyengir, dia mengakhiri seluruh cerita mengagumkan dengan sebuah cengiran, cengiran anak tampan berambut ikal, cengiran termanis, dari anakku.
Satu tegukan, lengkap. Cukup lengkap buat sebuah jawaban, cukup sempurna untuk membawa aku kemasa-masa itu, masa-masa Bapak, aku bersama Bapak.
--------
Bapak, Bapakku seorang nelayan kecil. Kami tinggal disebuah pulau kecil, perbatasan Singapura. Rumah kami kecil, berdinding papan, beratap ijuk, tanpa teras, hanya pelantar, diatas laut. Aku hanya tinggal bersama Bapak, Ibu sudah meninggal dunia saat aku berusia 5 tahun, aku anak tunggal, satu-satunya anak dan teman hidup Bapak. Bapak pendiam, tak banyak bicara. Tidak pernah meninggalkan rumah, selain pergi melaut.
Setiap sore, Bapak pergi melaut, seorang diri. Tidak pernah mau kalau aku ingin membantu, ingin ikut, padahal si Abror anak pakcik Rahmat selalu ikut bapaknya melaut, padahal si Sultan anak pakcik Salim selalu ikut abangnya melaut. Semua teman-temanku pernah melaut, pandai menyelam, jago menjala, cuma aku yang tidak, tidak bisa segala hal yang berhubungan dengan laut.
Bapak hanya menyuruhku tekun belajar, belajar dan belajar. Bapak mungkin tidak mau aku menjadi nelayan, sama seperti orang-orang disini, aku tahu itu, tapi aku tidak tega melihat Bapak. Bapak sudah tua, melaut dengan sampan kecil, dengan jaring yang jarang mendapat ikan, jaring yang hanya beberapa utas saja, jaring yang sudah lama. Sampan Bapak pun sering bocor, dua hari sekali pasti dibawa kedarat, ke pantai, dipakal, ditampal dengan sabut. Tapi tetap saja, selalu bocor.
Setiap sore, aku selalu melepas Bapak, duduk diatas pelantar, berdo’a agar Bapak dapat ikan banyak, hanya itu yang aku lakukan. Berkhayal mendapatkan duit sepeti, didalam gelombang ombak yang menerjal karang. Mungkin saja, ada seorang miliarder yang sedang naik helikopter, lalu tiba-tiba angin puting beliung datang, menghantam helikopter, dan salah satu peti duit yang dibawa sang miliarder jatuh kedalam lautan, hanyut, dan berakhir di pantai dibawah rumahku. Lalu aku menemukannya, dan menjadi miliarder selanjutnya. Oke, khayalan yang sangat indah.
Faktanya, aku hanya dirumah. Belajar, belajar dan belajar. Menunggu Bapak pulang. Biasanya bapak pulang pagi, saat sang surya menyinari dunia. Aku siap menunggu Bapak, dengan secangkir kopi, kopi racik termurah, kopi kesukaan Bapak. Apa yang aku suka? Senyum Bapak, mata sayu Bapak. Secangkir kopi, suatu fakta Bapak adalah pecinta kopi yang aku jadikan alasan agar bisa berdekatan dengan Bapak, kalau tidak dengan momen ini, aku tidak pernah dekat dengan Bapak, tidak sedekat ini. Mendapatkan keberkahan senyum Bapak, senyum dibalik tubuh yang lelah.
Hidup ini memang tergantung kondisi, apapun itu. Seluruh partikel kehidupan, diatur oleh kombinasi situasi, dirancang dari kondisi tertentu. Sama halnya perasaan. Tak jarang, rasa tidak tega ku bertransformasi menjadi satu perasaan yang mencengkam, khawatir. Saat situasi dibulan-bulan tertentu. Saat cuaca sedang dalam keadaan tidak baik, bahkan double tidak baiknya.
Aku khawatir, sangat. Meskipun rumah kami gubuk diatas laut, yang sewaktu-waktu diterjang angin badai, sekali saja, bisa menghilang, aku tak pernah khawatir. Yang aku khawatirkan, Bapak di laut. Laut lepas. Diatas sebuah sampan kecil, dengan gelombang besar, badai, segala macam bentuk ketidakbaikan keadaan. Aku khawatir.
Menjadi seorang nelayan kecil, harus siap dengan segala resiko yang ada. Dari tidak makan, kalau tidak mendapat ikan, hingga bertaruh nyawa pada kematian. Aku tidak pernah mengeluh, tak pernah berkecil hati, kalau nyatanya Bapakku seorang nelayan kecil. Aku tidak pernah merasa terasingkan, merasa tak dipedulikan, kalau nyatanya Bapakku selain seorang nelayan kecil juga seorang yang sangat pendiam. Ada saat-saat aku kecewa, saat dimana aku menjual ikan di toke Acang, seorang toke berdarah Tionghua.