Orang yang paling kaya dipulau ini, tidak hanya pulau kecil ini, mungkin lebih lagi. Setiap nelayan dipulau ini dan pulau sekitar akan menjual hasil tangkapan kesini, ketempat toke Acang. Memang benar ternyata, apa yang dikatakan pakcik Daud, Bapaknya si Lina “Surganya orang Tionghua itu didunia, semuanya milik mereka, lihatlah toke Acang dipulau kita ini, tengoklah toke Atang pemilik Mall terbesar di ibu kota, perhatikanlah toke Lieng pemilik hotel-hotel ternama diberbagai kota besar yang ada di televisi, semua pembendaharaan dunia dipegang keturunan Tionghua,telak sudah, kalau ada orang miskin padahal dia keturunan Tionghua, mungkin takdirnya memang kesengsaraan. Menggenaskan”. Begitu kata pakcik Daud. Dalam hati, aku membenarkan.
Tapi bukan surga dunia yang ternyata pemiliknya Tionghua yang aku kecewakan, tapi pakcik Zaki, penimbang ikan di tempat toke Acang. Setiap aku menjual ikan, pasti dia selalu berbicara tentang Bapak, hal-hal yang sangat luar biasa jika orang bodoh yang mendengarnya, jika orang yang tidak mengenal Bapak pasti akan sangat mudah mempercayainya.
Tapi bukan aku. Aku tidak sebodoh itu. Aku ini anak Bapak, satu-satunya teman hidup Bapak. Aku tahu Bapak. Mana mungkin Bapak lulusan terbaik di Universitas terbaik negeri ini, mana mungkin anak seorang Dewan Rakyat mau menjadi nelayan kecil, bullshit. Aku kecewa.
Saat aku membeli sebungkus asam di kedai cik Mai, juga merupakan saat-saat mengecewakan. Cik Mai selalu bercerita tentag Bapak, mana mungkin Bapakku yang sangat pendiam, tak pernah bersosialisasi dengan sekitar, tak pernah keluar rumah selain pergi melaut, adalah seorang periang, pencerita yang handal, dengan segala penambahan lebih-lebihan ala cik Mai. Aku tidak percaya. Sama sekali tidak. Aku tidak hidup atas segala yang ‘orang bilang’.
Aku hidup atas apa yang aku temukan, dan aku menemukan Bapak adalah seorang nelayan kecil, yang menggadaikan nyawanya kepada kematian demi aku. Yang aku temukan, Bapak adalah seorang pekerja keras demi aku, hidup untuk hidupku. Seorang pecinta kopi yang aku banggakan, satu-satunya orang didunia ini yang aku buatkan kopi. Bahkan tidak untuk diriku sendiri. Aku tidak suka kopi, tapi aku mahir membuatnya. Aku selalu membuatkan Bapak secangkir kopi, tapi aku sendiri tidak pernah merasakannya, kopi buatanku sendiri. Aku dedikasikan kopi-kopiku untuk Bapak, untuk mendapatkan sebuah senyum keberkahan dari Bapak, Bapakku.
--------
Aku masih disini, diatas pelantar rumah kami, rumah aku dan Bapak.
Lautan adalah the beautiful liar, terlihat tenang dipermukaan, sangat menenangkan. Sangat menakjubkan. Tak tampak sedikitpun kegetiran dari setiap partikel kehidupan yang hidup dibawahnya. Lautan yang tenang telah mengambil Bapak, apapun bentuk ruh asli dari sisi ciptaan yang bernama lautan, dia telah merenggut Bapak dariku. Pagi itu, secangkir kopi Bapak tak habis, tak pernah tersentuh. Dan tak pernah ada lagi secangkir yang lainnya, dipagi selanjutya.
Aku masih disini, ditemani setengah cangkir kopi, sambil menikmati.
Banyak yang berubah setelah kepergian Bapak, aku belajar dari banyak hal. Bahwa hidup tak selamanya tentang kebenaran dan kenyataan. Bahwa hidup tak bisa dipahami, hanya dengan apa yang kita temukan. Karena pada hakikatnya kebenaran dan kenyataan tidak pernah bisa ditemukan. Aku belajar, belajar dan belajar.
Sepuluh tahun sudah, semua sudah tersibak, fakta terbaik yang tersembunyi sudah menampakkan diri. Mengarahkan kepada hakikat hidup itu sendiri. Dan aku masih disini, diujung pelantar rumah kita pak, rumah gubuk kita. Kenyataannya, apa yang ‘orang bilang’ tentang Bapak adalah kebenaran, sementara kenyataannya adalah apa yang telah aku temukan, sekarang. Aku rindu Bapak.