Sang surya sudah mulai meninggi saat handphoneku berdering, sudah tidak pagi lagi. Aku baru saja akan beranjak, ketika Reihan meniti pelantar dibelakangku, dia membawa nampan, dengan secangkir kopi diatasnya. Masih dengan cengirannya, “ Pa, kopi Rei, udah Rei kasih nama, namanya kopi ketulusan, hehe”. Tiba-tiba Zahra datang, dengan segala kemanisan yang dia miliki, beserta keceriaan suaranya “Papa, kopi buatan Papa biar Zahra aja yang kasi nama ya? Namanya k-o-p-i- k-e-h-i-d-u-p-a-n, hehe baguskan Pa?”
Tuhan, demi apa.
Bapak. Aku bahagia Pak, terima kasih Pak.
Bapakku, seorang nelayan kecil yang bermimpi besar. Seseorang dengan kadar kepercayaan yang sangat tinggi, menunjukkan betapa kerja keras sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Pencapaian dari nol. Tidak semestinya ada karena sesuatu yang telah ada. Harus ada sesuatu yang diadakan dari ketiadaan.
Bapakku, seorang pecinta kopi yang sangat aku kenal.
Aku menjual kopi, seharga senyum keberkahan Bapak.
Hanya untuk Bapak. Kopi Bapak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H