Kini aku di ruang keluarga. Dikelilingi Ibu, Mbak Lis, Mbak Menik, Mas Agung. Aku diceramahi habis-habisan.
"Ngojek? Bikin malu keluarga besar kita saja. Dan kamu, Ken, kamu kan sarjana? Masak jualan nasi uduk?" suara Mbak Lis.
"Apa salahnya? Dan Mas Awang, itu tandanya ia bertanggung jawab. Lebih penting lagi, ia amat mencintai anak-anak," bantahku.
"Tapi kan kamu tidak mencintainya?"
"Kenapa itu dibahas sekarang?" Aku mulai emosi. "Bukankah kalian dulu yang memaksaku menikah dengan Awang? Karena dia anak orang kaya? Dan sekarang, perlakuan Ibu, Mbak Lis, kalian semua berubah. Karena Awang jatuh miskin?" Suaraku mulai serak.
"Ken, jaga suaramu!" Mbak Lis memarahiku.
"Apa mau kalian sebenarnya?"
"Pak Darto ...," Ibu yang bersuara.
"Ada apa dengan Pak Darto?"
"Pak Darto," Mbak Lis mengambil alih pembicaraan, "minggu kemarin ia menemui Ibu. Walaupun ia duda kehidupannya sangat mapan. Tahu kan jalan tol lingkar itu? Perusahaannya yang mengerjakannya."
"Lantas?"