Kemudian lahir anak kami. Satu. Dua. Dan kini anak kami sudah tiga.
Dan datanglah bencana itu (bencana adalah istilah Ibu). Berawal dari kematian kedua orang tua Awang. Awang tak cukup pandai meneruskan usaha orang tuanya.
Rasanya begitu cepat sekali. Kami bangkrut. Untunglah rumah tidak sampai terjual.
Dan Awang, aku tak menduganya sama sekali. Ia langsung banting setir. Kini ngojek online. Tanpa risih atau malu. "Kenapa harus malu?" Awang balik bertanya.
Tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Aku berinisiatif berjualan nasi uduk dan segala macam gorengan di depan rumah.
Ibu, rasanya aku ingin marah sekali. Perlakuan Ibu dan saudara-saudaraku kepada Awang langsung berubah. Ibu
Seperti melecehkan. "Tukang ojek?" sinis Ibu.
Ibu selalu masam kepada Awang, setiap kami mengunjunginya. Terkadang ada kata-kata yang tak pantas diucapkannya. Awang tak memberi reaksi yang berlebihan. Di rumah pun ia tak pernah membahas perubahan sikap Ibu.
Aku saja yang tak enak hati. Aku sering memintakan maaf kepada Awang atas perlakuan Ibu.
Awang hanya tersenyum tipis. "Lupakan." Hanya itu yang dikatakan Awang.
Dan pagi tadi ada pesan we-a dari Mbak Lis.
***