"Sudahlah Pak Mur, untuk apa sibuk ngurusin Kelurahan Lampu. Sudah lain kecamatan, beda kabupaten, bahkan beda provinsi. Ngapain ngurusin dapur orang lain. Lebih baik kita lihat kelurahan kita sendiri.Â
"Lihat, jalan depan rumah kita, seharusnya kan dibeton. Ke mana perginya dana desa itu. Jangan-jangan dikorupsi Pak Lurah," kata salah seorang tetangganya.Â
"Tapi kita harus tahu perkembangan daerah lain," Pak Mur masih berkilah.Â
"Ya, bagus. Tapi masak tiap hari harus Kelurahan Lampu. Memang Pak Mur pernah pergi ke Kelurahan Lampu?"
Muka Pak Mur memerah. "Memang belum pernah, sih. Tapi kan bisa dilihat diinternet."
"Ya. Tapi apa untung dan ruginya bagi kita?"Â
"Pokoknya apa pun yang dilakukan Lurah Lampu aku nggak suka," Pak Mur tak senang.Â
Kelakuan Pak Mur kini semakin aneh. Sehari saja ia tak bisa mengikuti perkembangan Kelurahan Lampu, tekanan darahnya langsung naik. Pernah anaknya terlambat mengirim uang untuk membeli paket internet, orang-orang di sekelilingnya menjadi sasaran kemarahan.Â
Tapi kini Pak Mur tampaknya berhenti total bermain internet, setidaknya untuk beberapa minggu ke depan. Kelurahan tempatnya tinggal dilanda gempa.Â
Porak-poranda!Â
***