Sejak memiliki hp android kiriman dari anaknya yang bekerja di kota, kini Pak Mur punya kegiatan baru. Ia selalu memantau berita-berita, gosip, dan apa pun cerita-cerita yang aneh di media sosial. Dan ini bisa menjadi bahan perbincangan bersama teman-temannya, di warung kopi, gardu ronda, atau di tempat-tempat orang banyak berkumpul.Â
Kini Pak Mur sedang asyik-asyiknya mengikuti perkembangan Kelurahan Lampu. Kelurahan Lampu memang sering menjadi pembicaraan, karena kelurahan itu paling maju di antara kelurahan-kelurahan yang lain. Apa pun yang terjadi di Kelurahan Lampu orang-orang membicarakannya, termasuk Pak Mur.Â
"Apa itu Lurah Lampu, masak batu-batu kali ditaruh dekat Balai Desa. Dananya besar lagi," komentar Pak Mur suatu ketika.Â
"Got-got, jalan-jalan, banyak sampahnya. Memalukan! Kelurahan banyak lampu kok banyak sampah," katanya lagi di hari yang lain.Â
"Nggak becus."
"Lurah Lampu bisanya cuma pidato."
Segala hal yang terjadi di Kelurahan Lampu, Pak Mur tahu. Juga kegiatan Lurah Lampu sendiri. Baju Lurah Lampu kusut sedikit saja langsung dikomentari. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Juga sisiran rambutnya.Â
"Apa-apaan itu Lurah Lampu, masak sisiran rambutnya niru-niru Pak Gubernur? Apa nanti mau ikut bersaing dalam pemilihan gubernur? Kan masih lama?"
Awalnya, teman-temannya, tetangganya senang dengan cerita-cerita Pak Mur. Tapi karena tiap hari ceritanya soal Lurah Lampu terus, mereka bosan juga mendengarnya.Â
"Sudahlah Pak Mur, untuk apa sibuk ngurusin Kelurahan Lampu. Sudah lain kecamatan, beda kabupaten, bahkan beda provinsi. Ngapain ngurusin dapur orang lain. Lebih baik kita lihat kelurahan kita sendiri.Â
"Lihat, jalan depan rumah kita, seharusnya kan dibeton. Ke mana perginya dana desa itu. Jangan-jangan dikorupsi Pak Lurah," kata salah seorang tetangganya.Â
"Tapi kita harus tahu perkembangan daerah lain," Pak Mur masih berkilah.Â
"Ya, bagus. Tapi masak tiap hari harus Kelurahan Lampu. Memang Pak Mur pernah pergi ke Kelurahan Lampu?"
Muka Pak Mur memerah. "Memang belum pernah, sih. Tapi kan bisa dilihat diinternet."
"Ya. Tapi apa untung dan ruginya bagi kita?"Â
"Pokoknya apa pun yang dilakukan Lurah Lampu aku nggak suka," Pak Mur tak senang.Â
Kelakuan Pak Mur kini semakin aneh. Sehari saja ia tak bisa mengikuti perkembangan Kelurahan Lampu, tekanan darahnya langsung naik. Pernah anaknya terlambat mengirim uang untuk membeli paket internet, orang-orang di sekelilingnya menjadi sasaran kemarahan.Â
Tapi kini Pak Mur tampaknya berhenti total bermain internet, setidaknya untuk beberapa minggu ke depan. Kelurahan tempatnya tinggal dilanda gempa.Â
Porak-poranda!Â
***
Sebenarnya ada sekitar sepuluh kelurahan yang terkena dampaknya, tapi kelurahan tempat tinggal Pak Mur paling parah. Jaringan listrik, jaringan komunikasi putus total.Â
Bantuan berdatangan.Â
Ada yang mengirim obat-obatan, makanan, tenda, pakaian, dan banyak lagi. Termasuk bantuan dari Kelurahan Lampu.Â
Tapi Pak Mur tak sudi menerimanya. Tentu hal ini diprotes dengan istrinya.Â
"Dari Kelurahan Lampu bantuannya paling banyak, Pak. Selain beras mereka juga mengirim rendang, opor ayam, ayam geprek, juga mengirim pakaian yang bagus-bagus. Sedang kelurahan lain cuma mi instan dan ikan asin," jelas istrinya.Â
"Apa pun yang berbau Kelurahan Lampu, aku nggak sudi!" Pak Mur tak senang.Â
Dan yang lebih menjengkelkan Pak Mur, dia tak bisa main internet. Ia tak bisa lagi mendengar perkembangan Kelurahan Lampu. Mudah-mudahan ada bom nuklir jatuh di Kelurahan Lampu, geram Pak Mur.Â
Orang-orang sibuk membereskan rumahnya, Pak Mur malah mendatangi Kantor PLN dan Kantor Telekomunikasi.Â
"Kapan bisa beresnya, Pak?"
"Ya, nggak tahu, Pak. Bisa seminggu, dua minggu, atau bisa sebulan."
"Lama sekali?"
"Kami kan menunggu peralatan dari kota."
"Tapi kok bisa terjadi gempa?"
"Wah, mana kami tahu. Itu kan kuasa Tuhan."
"Tuhan?"
"Ya."
***
Tuhan? Di dalam tenda daruratnya Pak Mur tak bisa tidur. Di mana letak keadilan Tuhan. Katanya Tuhan mahapengasih dan mahapenyayang, mana buktinya? Gara-gara Tuhan ia tak bisa lagi main internet, tak bisa lagi melihat jidat Lurah Lampu.Â
Paginya Pak Mur menyusuri jalan-jalan di sekitar wilayah kelurahannya. Memotret bangunan yang rusak, tanah yang terbelah, juga menanyai beberapa warga. Setelah dirasanya cukup, Pak Mur langsung menuju suatu tempat.Â
Kantor Polisi!Â
Kantor itu hanya terlihat beberapa polisi yang bertugas, karena memang sebagian anggotanya banyak membantu warga yang terdampak bencana. Tapi sebagai petugas yang baik tentu ia menerima setiap laporan warga.Â
Pak Polisi itu mengerutkan keningnya, setelah mendengar keterangan Pak Mur.Â
"Ini nggak salah, Pak Mur?"
"Apa salah kalau seseorang melapor ke polisi?"
"Bukan, bukan itu maksud saya. Tapi ini, ini...? Ini kan musibah, Pak Mur."
"Iya, musibah. Tapi gara-gara ini saya tidak bisa melihat apa yang dikerjakan Lurah Lampu. Tekanan darah saya naik, kolesterol saya tinggi, asam urat saya melonjak. Ini semua gara-gara Tuhan.Â
"Jadi apa buktinya Tuhan mahapengasih mahapenyayang? Itu hoaks! Dengan perbuatannya ini Tuhan membuat diri saya tidak nyaman.Â
"Saya sudah menanyakan petugas listrik, petugas telekomunikasi, juga keterangan beberapa saksi. Gempa ini bukan perbuatan manusia. Ini hanya bisa dilakukan oleh Tuhan!"
"Jadi maksud Pak Mur, apa?"
"Lho, Pak Polisi kan yang mengerti hukum? Yang jelas saya melaporkan, dengan lebih dua alat bukti. Terserah Pak Polisi, Tuhan mau diapakan."
"Hm, begini Pak Mur. Mungkin dengan cara ini Tuhan mengingatkan kita. Mungkin kita sering lalai beribadah, hanya sibuk memikirkan orang lain, tak mau melihat diri sendiri...!"
"Eh, Pak polisi jangan menuduh sembarangan! Pak Polisi bisa saya tuntut!"
"Sabar..., sabar Pak Mur....."
***
Kedatangan Pak Mur ke kantor polisi untuk melaporkan Tuhan, dengan cepat menyebar. Menjadi laporan utama di seluruh media, baik cetak, televisi, maupun media online.Â
Para wartawan kini malah mengabaikan kejadian gempa, kini meluruk ke kantor polisi menanyakan perkembangan laporan Pak Mur.Â
Hari ini rencananya pihak kepolisian akan melakukan jumpa pers untuk memberi keterangan. Seluruh wartawan sudah berkumpul.Â
Seluruh stasiun televisi melakukan siaran langsung. Seluruh wartawan, seluruh masyarakat, berdebar-debar apa yang akan dikatakan pihak kepolisian. Tapi tetap saja ada keraguan pada hati mereka.Â
Sekali ini, beranikah polisi menjadikan Tuhan sebagai tersangka?Â
***
Cilegon, April 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H