Perutnya yang membuncit menekan tubuhku. Aku juga baru sadar, tubuhnya lebih kurus. Matanya cekung, agak menjorok ke dalam, seperti mata yang sering menangis. Tubuh yang rapuh, berharap ada sandaran untuk berbagi cerita, tapi yang didapat dariku hanya kata-kata kasar yang menyakiti dirinya.Â
Timbul rasa kasihan kepada dirinya. Tak seharusnya aku memperlakukannya seperti itu. Kemarin ini, yang dilakukannya mungkin hanya kekhilafan saja, mengikuti gejolak masa mudanya. Dan kelihatannya ia menyadari kekeliruannya.Â
"Sher...?"
"Hm...?"
"Terima kasih...."
Sherly tak menjawab. Hanya kemudian tubuhnya agak bergetar. Ia menangis...?Â
***
Pagi ini kulihat tubuhnya terseok mengangkat ember berisi curian yang akan dijemur. Perutnya yang sudah besar itu membuatnya kesusahan mengangkat ember. Keterlaluan sekali kalau aku membiarkannya.Â
"Biar aku saja yang menjemur," kataku sambil meraih embernya.Â
"Kamu nggak malu?"
"Masak menolong istri sendiri harus malu...?"