Sejak kematian suaminya beberapa tahun silam, ia berusaha menyambung hidup dengan berdagang kain di pasar. Modalnya yang tak seberapa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, termasuk sekolah Dina.
Suaminya memang tak banyak meninggalkan harta. Untunglah dulu suaminya sempat membeli rumah sederhana, yang kini ia tempati bersama Dina, anak semata wayangnya.Â
Dina sendiri memang sejak SMP bercita-cita menjadi bidan. Makanya setamat SMP ia melanjutkan ke SMA. "Nggak apa-apa 'kan Mak, Dina masuk sekolah bidan?" tanya Dina waktu kelas satu SMA. Bu Halimah hanya mengangguk.Â
Tapi saat kelas tiga SMA Dina agak ragu.Â
"Biayanya, Mak. Sekolah Kebidanan biayanya mahal. Belum lagi biaya kos, makan sehari-hari, dan keperluan lainnya," Dina memberi alasan.Â
"Pokoknya sekarang kamu sekarang jangan pikirin yang macam-macam. Kamu fokus belajar aja. Emak 'kan sudah ngumpulin uang sejak kamu kelas satu SMA," Bu Halimah meyakinkan Dina.Â
Dina menatap emaknya. "Iya?" Dina masih tak yakin.Â
"Iya."
Tapi saat Dina sudah lulus SMA, saat teman-temannya disibukkan mengurus masuk perguruan tinggi, justru Dina seperti tak semangat. "Nanti. Penutupannya juga masih lama," alasan Dina.Â
Melihat itu Bu Halimah gelisah, takut. Ia tahu apa yang dipikirkan Dina. Ia tak ingin cita-cita anaknya selama ini menjadi kandas. Ia tak ingin melihat Dina bersedih.Â
Makanya seminggu yang lalu ia membawa anaknya ke kamar. Tangan Bu Halimah gemetar membawa sebuah bungkusan. Gemetar pula ia membukanya. Dina melihat banyak perhiasan.Â