Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dina di Waktu Dini

31 Agustus 2019   22:34 Diperbarui: 31 Agustus 2019   23:06 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Pixabay.com. 

Bu Halimah melihat Dina, anak gadisnya masih menjuntai di tepi ranjang. Ia merasakan seperti ada yang dipikirkan oleh anak gadisnya. "Cepat, Rin sudah nunggu di depan. Jadi 'kan kamu daftar di Kebidanan?" 

Dina menatap tajam emaknya, kemudian mengangguk pelan. 

"Cepat!" kejar emaknya lagi. "Sekolah Kebidanannya 'kan jauh, nanti kamu kesorean," lanjut emaknya. 

"Ya," Dina membereskan berkas-berkas yang dibutuhkan, dan memasukkan ke dalam tasnya. Kemudian ia menyalami dan mencium tangan emaknya. Dina hanya mengangguk kecil saat emaknya menanyakan apakah uang untuk ongkos perjalanannya cukup. Karena, memang, Sekolah Kebidanan itu letaknya di ibukota provinsi. 

"Hati-hati...!" suara Bu Halimah mewanti-wanti anaknya. 

"Ya, Mak."

***

Setelah tak tampak lagi bayangan anaknya di kejauhan, Bu Halimah duduk termenung sendirian. Sulit ia menafsirkan perasaannya saat ini. Senang, gelisah, takut, atau apa? Pikirannya seperti terlontar jauh, sangat jauh...!

Di ujung lamunannya ia seperti melihat bayangan anak gadisnya terlonjak gembira saat ia diterima di Sekolah Kebidanan itu. 

Bu Halimah tersenyum sendiri. Ya, ia yakin anaknya akan diterima. Sejak SD Dina selalu juara satu. Tapi kemudian ia gamang. Biaya, ya biayanya dari mana? 

Sejak kematian suaminya beberapa tahun silam, ia berusaha menyambung hidup dengan berdagang kain di pasar. Modalnya yang tak seberapa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, termasuk sekolah Dina.

Suaminya memang tak banyak meninggalkan harta. Untunglah dulu suaminya sempat membeli rumah sederhana, yang kini ia tempati bersama Dina, anak semata wayangnya. 

Dina sendiri memang sejak SMP bercita-cita menjadi bidan. Makanya setamat SMP ia melanjutkan ke SMA. "Nggak apa-apa 'kan Mak, Dina masuk sekolah bidan?" tanya Dina waktu kelas satu SMA. Bu Halimah hanya mengangguk. 

Tapi saat kelas tiga SMA Dina agak ragu. 

"Biayanya, Mak. Sekolah Kebidanan biayanya mahal. Belum lagi biaya kos, makan sehari-hari, dan keperluan lainnya," Dina memberi alasan. 

"Pokoknya sekarang kamu sekarang jangan pikirin yang macam-macam. Kamu fokus belajar aja. Emak 'kan sudah ngumpulin uang sejak kamu kelas satu SMA," Bu Halimah meyakinkan Dina. 

Dina menatap emaknya. "Iya?" Dina masih tak yakin. 

"Iya."

Tapi saat Dina sudah lulus SMA, saat teman-temannya disibukkan mengurus masuk perguruan tinggi, justru Dina seperti tak semangat. "Nanti. Penutupannya juga masih lama," alasan Dina. 

Melihat itu Bu Halimah gelisah, takut. Ia tahu apa yang dipikirkan Dina. Ia tak ingin cita-cita anaknya selama ini menjadi kandas. Ia tak ingin melihat Dina bersedih. 

Makanya seminggu yang lalu ia membawa anaknya ke kamar. Tangan Bu Halimah gemetar membawa sebuah bungkusan. Gemetar pula ia membukanya. Dina melihat banyak perhiasan. 

"Emak rasa, kalau ini dijual sudah cukup untuk membiayai kuliahmu, paling tidak hingga dua tahun," kata emaknya. 

Dina meraba perhiasan itu. Kemudian terlihat tangannya gemetar. Dina mengginggit bibirnya, menahan-nahan perasaannya. Mata Dina basah, dan memeluk emaknya. "Terima kasih, Mak,"  katanya lirih. 

***

Dina pulang menjelang sore, tapi wajahnya terlihat kurang gembira. 

"Kenapa? Kamu sudah daftar, 'kan?" tanya emaknya. 

"Anu, Mak," Dina ragu. "Udah tutup, nggak tahunya pendaftaran udah tutup," lanjut Dina lagi. 

"Tutup? Lho, katanya penutupannya tanggal dua tujuh? Sekarang 'kan baru tanggal dua puluh?"

"Iya. Dina salah lihat. Penutupannya ternyata tanggal tujuh belas kemarin."

"Jadi...?"

"Maafin Dina, ya Mak?"

Emaknya tak menjawab. Hanya terlihat menghembuskan napas. Dina tak tahu apa yang ada dalam pikiran emaknya. Beberapa saat mereka terdiam. 

"Jadi, apa rencana kamu?" akhirnya. 

"Dina mau cari kerja aja dulu, sambil ngumpulin uang. Nggak apa-apa 'kan, Mak?"

"Ya, udah, kalau itu memang mau kamu," kata emaknya. 

***

Dini hari. 

Bu Halimah gelisah di tempat tidurnya. Ia merasa bersalah terhadap Dina, anak gadisnya, tapi sekaligus lega. Ia merasa bersalah, karena  Dina tak dapat melanjutkan sekolahnya.

Tapi di balik itu ia juga merasa lega, karena kegagalan itu bukan berasal dari dirinya. Dina terlambat untuk mendaftar. Ini peperangan batin yang aneh sekaligus menyedihkan. 

Sebenarnya ia tak punya cukup uang menyekolahkan Dina lebih lanjut. Perhiasan yang ia perlihatkan kepada Dina adalah imitasi, jadi tak ada harganya. 

Ia tak ingin mematahkan semangat Dina, tapi ia juga tak punya cukup uang untuk membiayai kuliah Dina. Maka ia berpura-pura mempunyai uang lewat penjualan perhiasan itu. Ini tindakan bodoh. Bagaimana kalau benar-benar Dina mendaftar, dan diterima. Tentu ia sendiri yang kalang-kabut, dan Dina sangat kecewa. 

Bu Halimah merasa bersyukur, Tuhan memberi jalan yang lain. Dina terlambat mendaftar. Tapi Bu Halimah tetap merasa bersalah, karena telah membohongi anaknya 

***

Sementara itu Dina di kamarnya tak bisa juga tidur. Ia menahan-nahan tangisnya agar tak terdengar oleh emaknya. 

Mungkin ini peristiwa paling sedih dalam hidupnya. Bukan karena kegagalannya karena tak bisa kuliah, tapi mengingat emaknya. 

Ia tahu emaknya tak punya cukup uang untuk biaya kuliahnya. Ia bukanlah anak yang bodoh, ia tahu perhiasan itu adalah imitasi. Ingin rasanya menjerit saat itu. Ia merasakan emaknya berusaha agar dirinya tak kecewa, walau emaknya melakukan dengan cara yang salah. Kalaupun emaknya menceritakan hal yang sebenarnya, ia dapat mengerti. 

Dina juga tak ingin membuat emaknya bersedih. Pagi tadi ia tetap pergi bersama Rin, bukan mendaftar di Sekolah Kebidanan, tapi hanya jalan-jalan saja hingga menjelang sore.        

Ya, Dina tidak mendaftar. Bahwa pendaftaran sudah tutup, itu hanya alasan untuk emaknya, agar emaknya tidak terlalu kecewa. Tapi Dina merasa berdosa, karena hari ini ia telah membohongi emaknya. 

***

Cilegon, 2019. 

Catatan. 

Cerita ini kutulis untuk Nelvienti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun