Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Matinya Seorang Buruh

8 Agustus 2019   23:49 Diperbarui: 9 Agustus 2019   00:18 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada tertinggal jejak kekerasan. 

Tubuh Rakyat - Surakyat - tergeletak bersimbah darah, juga lantai kamarnya penuh dengan darah. Tak ada terlihat kerusakan; bekas perkelahian, misalnya. Barang-barang buruh pabrik sepatu itu masih berada di tempatnya, tak ada yang hilang. 

Mejanya terlihat masih rapi. Hape, buku-buku, juga kertas-kertas. Kertas-kertas itu penuh gambar-gambar mobil, juga kata-kata. Kata-kata itu membentuk kalimat singkat: TIDAK ADIL! Kalimat ini juga terlihat di dinding kamar. 

Hapenya sendiri menyimpan 23 video porno, dan 161 gambar-gambar mobil mewah. 

Polisi masih memeriksa kamar. Mencari benda-benda sekiranya dapat dicurigai, memeriksa sidik jari yang mungkin saja tertinggal, dan, tentu, menanyai orang-orang yang berhubungan dengan Surakyat. 

Bu Nani, pemilik kontrakan. 

"Sumpah, Pak Polisi, saya tidak tahu apa-apa. Sore itu kan Mas Rakyat sedang bersiap-siap akan berangkat kerja, dia kebagian shift malam. Sore Persib sedang main; Mas Rakyat kan penggemar Persib. Maka saya menyuruh anak saya untuk memanggilnya, siapa tahu ia mau nonton menjelang ia berangkat kerja. Tapi kemudian saya mendengar anak saya menjerit, dan menceritakan terbata-bata apa yang dilihatnya. 

"Saya penasaran. Ketika saya lihat kamar Mas Rakyat penuh darah, saya langsung teriak-teriak, dan memanggil Pak RT. 

"Sumpah Pak Polisi, saya tidak tahu apa-apa," Bu Nani mengakhiri keterangannya. 

Keterangan Pak RT. 

"Ya, memang Bu Nani melapor ke saya, dan setelah melihat kamar Surakyat saya langsung menelepon polisi."

***

Keterangan kawan-kawan satu pabrik dengan Surakyat. 

"Nggak. Saya nggak begitu kenal dengan Surakyat."

"Orangnya baik. Rasanya nggak punya musuh. Waktu Slamet diangkat sebagai Kepala Quality Control, Mas Rakyat nggak iri. Tenang-tenang aja kelihatannya."

"Slamet, siapa Slamet? Panggil dia!" Polisi itu memerintahkan. 

***

Keesokan harinya Slamet menghadap ke kantor polisi. Slamet terlihat begitu percaya diri, walau wajahnya sedikit pucat. 

"Saya nggak pernah, nggak pernah bertengkar dengan Rakyat. Saya suka berteman dengannya, dia orangnya nggak mudah tersinggung," terang Slamet. 

"Tapi menurut teman-teman Anda, seharusnya Surakyat yang menjadi Kepala Quality Control," kejar polisi. 

"Wah, soal itu saya tidak tahu. Itu urusan manajemen perusahaan."

"Siapa yang bertanggung jawab soal ini?"

"Itu Kepala Personalia, Pak Irwan," jelas Slamet. 

Keterangan Irwan. 

"Surakyat karyawan yang baik, rajin. Tapi memang ada beberapa kali ia tak masuk kerja tanpa mengemukakan alasan. Dan itu menjadi catatan perusahaan. Itu sebabnya kami lebih memilih Slamet daripada Surakyat untuk diangkat sebagai Kepala Quality Control."

Buntu!

***

Polisi seperti dipaksa memasuki Lorong-lorong labirin yang tak tahu di mana pintu keluar. Buruh pabrik sepatu,  video porno, gambar-gambar mobil mewah, coretan-coretan, tulisan "tidak adil", yang semuanya seperti tidak ada hubungan sama sekali. 

Di kamarnya pun polisi tak menemukan jejak sidik jari yang mencurigakan. Riwayat hidupnya juga bersih, tak pernah masuk catatan kepolisian. Dan juga yang mengherankan polisi yang menyidik kasus ini, tersebab tubuh Surakyat yang berdarah-darah ini bukan  dikarenakan benturan benda tumpul atau terkena benda tajam. Itu menurut keterangan dokter yang mengotopsi tubuh Surakyat. 

Juga, masih keterangan dokter itu, tak ada benda-benda asing yang masuk ke tubuh Rakyat; racun, misalnya. Tubuh Surakyat berdarah disebabkan organ-organ dalam tubuhnya pecah. Pembuluh darah, gendang telinga, jantung, paru-paru, semuanya, semuanya pecah. Rongga kepalanya juga penuh darah. Dan dokter itu baru sekali ini menemukan kejadian seperti ini. Tubuh Surakyat seperti menahan tekanan yang luar biasa. 

Polisi berpikir keras. Apalagi para wartawan sudah mengejar-ngejar perkembangan kasus ini. 

Tiba-tiba polisi yang menangani kasus ini teringat sesuatu. Pacarnya, ya, pacar Surakyat. 

***

Sri, pacar Surakyat, tak pula banyak membantu. Ia masih di diliputi kesedihan, mengingat tiga bulan lagi ia akan melangsungkan pernikahan dengan Surakyat. 

 "Apa ada sesuatu tindakan aneh menjelang kematian Surakyat?" tanya polisi. 

"Tidak."

"Punya pacar lain, barangkali?"

"Ng... tidak. Saya yakin tidak. Saya percaya dengan Mas Rakyat."

"Mm, pernah ia bicara soal mobil?"

"Mobil?"

"Ya, mobil. Barangkali Surakyat pernah bercerita ingin membeli mobil, misalnya?"

Sri senyum tipis. 

Polisi yang menanyainya berdebar, curiga. 

"Ya, ya pernah. Tapi secara bergurau saja. Saya juga tertawa mendengarnya. Mas Rakyat pernah mengatakan, bagaimana rasanya punya mobil seharga satu miliar."

"Satu miliar? Memang gaji Surakyat berapa?"

"Berapa sih Pak Polisi, tamatan SMK. Sekitar tiga jutaan. Kalau lembur dia bisa dapat tiga setengah sampai empat juta...."

Polisi terdiam. Tapi menemukan clue baru: Mobil seharga satu miliar. Satu miliar! 

***

Polisi yang menyelidiki kasus ini bekerja keras, berusaha membongkar kasus ini. Polisi mempelajari kembali catatan-catatan yang berhasil dikumpulkan polisi. Catatan itu penuh dengan angka-angka. Rekaman percakapan maupun pesan yang ada pada hape Surakyat juga ditelisik ulang.  Tentu hasil wawancara dengan orang-orang yang pernah dekat dengan Surakyat dipelajari kembali. 

Menjelang subuh tiba-tiba polisi itu terlonjak, menjentikkan jarinya. 

Ini dia! 

***

Konferensi pers. 

"Begini rekan-rekan wartawan...! Seperti kita ketahui beberapa hari yang lalu, seorang buruh pabrik sepatu bernama Surakyat, umur 25, ditemukan tewas bersimbah darah di kamarnya. Setelah kami selidiki, berdasarkan bukti - bukti di tempat kejadian perkara ( TKP ), dan keterangan beberapa saksi, juga hasil otopsi dari dokter, dapat dipastikan korban tidak dibunuh maupun bunuh diri. 

"Rekan-rekan wartawan..., kami telah mempelajari coretan-coretan di kertas yang banyak berserakan di kamar itu. Berdasar penyelidikan kami ternyata Surakyat ini ingin memiliki mobil seharga satu miliar. Satu miliar, rekan-rekan wartawan. 

"Dan Surakyat punya gaji tiga juta per bulan. Kemudian Surakyat menghitung, mencoret-coret di kertas. Harga mobil satu miliar, dan gajinya tiga juta per bulan. 

"Ini yang didapat. 1000.000.000 : 3000.000 = 333. Sekitar tiga ratus tiga puluh tiga bulan, itu, sekitar 27 tahun. 

"Bayangkan Saudara-saudara, seorang buruh sepatu semacam Surakyat perlu mengumpulkan gajinya selama 27 tahun untuk membeli mobil seharga satu miliar. Itu dengan catatan, Surakyat tidak makan tidak minum, tidak membeli apa pun, baru bisa terbeli. 

"Sementara pabriknya sendiri memproduksi sekitar seribu pasang sepatu per hari, dan harga jual sepatu itu adalah satu juta rupiah per pasang. Itu berarti satu miliar rupiah. Bila pemilik pabrik ingin membeli mobil seharga satu miliar, dia hanya butuh waktu sehari untuk melakukannya. 

"Surakyat 27 tahun. Dan itu tidak makan dan tidak minum. Ini tidak adil, kata-kata ini banyak ditulis Surakyat. 

"Tentu rekan-rekan wartawan dapat membayangkan. 

"Surakyat sepertinya tidak dapat menerima ini. Berhari-hari ia memikirkan hal ini. Ia tak tahan. Puncaknya sore itu, tubuhnya sepertinya tidak bisa menahan beban keinginannya. 

"Pembuluh darahnya pecah, gendang telinganya pecah, semua organ tubuhnya pecah. Berdarah-darah! 

"Demikian rekan-rekan wartawan. Ada yang bertanya?"

Seorang wartawan mengacungkan jari. Pertanyaan dan jawaban polisi bisa dilihat di berita TV sore ini. 

**

Cilegon, 2019. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun