Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Semalam di Bangkok

19 November 2024   09:09 Diperbarui: 19 November 2024   09:57 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar iluistrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Matahari jingga menyala menggantung tinggi di atas cakrawala selatan Kota Bangkok. Profesor Jullina Bend menata ulang roknya dan membetulkan tas kerja kulit buaya di pangkuannya yang berisi presentasi dan catatan penelitian dari ceramahnya di Mahidol University. Angin sepoi-sepoi bertiup dari belakang lehernya, hangat dan menenangkan. Dia hampir tertidur kalau saja dia tidak sedang bertengger di atas pohon.

Jullina pasti sudah turun dari pohon kalau tidak ada buaya yang berenang di bawahnya. Satu mata kuningnya tertuju pada otot betisnya yang berkembang dengan baik. Dan buaya itu tidak akan berenang di bawah pohon kalau Bangkok tidak banjir. Dan dia pasti sudah berada di bandara kalau dia tadi pergi ke hotel untuk berkemas alih-alih naik tuk-tuk keliling kota untuk bertamasya di jam-jam terakhir. Dan sekarang, siapa yang tahu kapan ia akan pulang? Kapan dia akan sampai di rumah?

Ikan, sapu lidi, bunga, bangku taman, boneka gajah, wadah beras, cangkir kopi, semuanya hanyut dalam air yang bergolak. Kantong gigi yang berenang itu masih menunggu. Satu-satunya suara yang bisa didengar Jullina adalah suara air mengalir deras, penuh dengan puing-puing.

Dia mengetukkan tumitnya-apa ruginya?-tetapi alih-alih dibawa pulang ke LA, sepatu kanannya malah jatuh ke air di bawahnya.

***

Dia hanya bermaksud menutup matanya sekejap, tetapi langit penuh sinar matahari terbenam saat dia membukanya lagi. Dia menegang mengingat di mana dia berada dan meraih kulit pohon yang licin. Sepatunya yang tinggal terciprat ke dalam lumpur. Cipratan itu diikuti oleh gigitan dan tamparan.

Dia mengintip ke bawah. Dia haus. Dia ingin sepatunya kembali. Buaya itu, menurutnya, punya rencana lain.

"Hei!" Jullina menggoyangkan tas kerjanya. "Lihat ini? Pergi atau aku akan membuatmu menjadi sepasang sarung tangan."

"Aku sangat meragukan itu," kata buaya itu.

Dia pasti belum sepenuhnya terbangun dari tidurnya. Tetap saja, dia menjawab. "Kau memakan sepatuku."

"Sepatu itu jatuh di kepalaku."

"Karena kamu di bawah pohonku. Kenapa kamu tidak pergi saja?"

"Itukah yang kamu inginkan? Aku ingin makan."

"Aku ingin turun. Aku ingin pulang. Kurasa tujuan kita saling bertentangan." Jullina bergeser di dahan pohon.

"Mungkin," kata buaya itu. "Mungkin tidak. Mungkin aku tidak memakanmu kalau kamu mengabulkan permintaanku."

Itulah yang dia butuhkan: buaya yang bisa bicara dan punya menuntut.

"Aku bukan jin, aku perempuan."

"Kasihan. Tapi perempuan itu lezatos, jadi bagaimanapun, aku akan menunggu."

"Baiklah."

Ketika nanti dia bangun, dia akan memastikan untuk menuliskan mimpinya.

"Apa yang kamu inginkan?"

"Aku ingin tinggal di Florida."

"Florida? Tapi ... kenapa?"

"Yah, aku punya banyak sepupu di sana, dan aku ingin menghabiskan waktu di Magic Kingdom untuk mengunjungi Pirates of the Caribbean."

"Kami juga punya satu di California."

"California tidak bagus," kata buaya itu. "Aku mencoba menjauh dari kabut asap."

"Aku akan membawamu sampai ke Florida, tapi aku khawatir aku tidak bisa melepaskanmu di taman hiburan."

"Yah, ini awal yang baik. Dengan berkompromi!"

***

Pada saat Jullina turun dari pohon, air banjir hanya setinggi mata kaki. Buaya itu duduk di pangkal pohon dengan sepatu balet tergantung di masing-masing gigi serinya yang panjang.

"Terima kasih," kata Jullina. Dia mengambil sepatu dari giginya yang menguning dan membersihkannya dari kotoran yang terkumpul di jari-jari kakinya. "Kau harus bertukar tempat dengan tas kerjaku agar aku bisa menggendongmu. Bisakah kau meringkuk kecil?"

Buaya itu berputar-putar, dan terus berputar semakin cepat sehingga menjadi seukuran tas jinjing.

"Nah, sekarang, kau harus menelan barang-barangku." Ia memberi buaya itu berkas-berkas presentasinya, flash drive-nya, nasi goreng sisa, kacamata hitamnya, dan bolpoin keberuntungannya.

Dia mengambil bunga phuang malai yang kelopak bunga melati dan marigoldnya sudah rontok dari pangkal pohon dan melingkarkannya di moncong buaya itu. "Gigitlah," katanya dan buaya itu meraih karangan bunga itu dan menyelipkan moncongnya ke dalam kantong di dekat perutnya. Jullina mengambil buaya itu, yang sekarang menjadi tas jinjing berbonggol dengan pegangan bunga dan bergegas pergi mencari jalan ke bandara. Dia tidak memperhatikan tas kerjanya yang kosong melayang, atau ekor yang dengan bahagia menyembul dari pegangannya.

***

Seorang wisatawan memakai mantel bulu di sebelah Jullina membangunkannya ketika tanda sabuk pengaman menyala untuk turun ke Miami.

"Wah, tasmu bagus sekali," kata wanita itu. "Kamu belinya di Thailand?"

Jullina mengangguk dan menepuk bagian luar tas yang hangat dan lembap. Dia benci harus meninggalkan buaya itu di Florida, padahal dia membuat tas yang bagus. Lagipula, siapa lagi yang bisa mengklaim memiliki barang yang unik seperti itu?

Mungkin dia akan menyimpannya selama sebulan atau lebih, sampai dia bisa menemukan pengawet yang bagus. Dia bisa menghabiskan semua sisa makan siang yang tidak pernah dia habiskan.

"Boleh aku melihatnya sebentar?" tanya wanita itu.

"Kurasa itu bukan ide yang bagus," kata Jullina, ibu jarinya menelusuri salah satu gigi kuning melengkung tepat di bawah pegangan karangan bunga.

Ini memang tas yang unik.

"Sepertinya aku tidak akan bisa membawanya ke mana pun." Wanita itu mendengus pada dirinya sendiri, menunjuk ke kabin pesawat.

"Oh, tidak, bukan itu maksudku...." Jullina merasa mual. "Hanya saja semua catatan presentasiku ada di sana. Aku sangat protektif terhadapnya."

"Yah, aku bisa mengerti itu," kata wanita itu. "Kita tidak pernah tahu dengan siapa kita akan berhadapan. Maksudku, aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun mencoba mantel macan tutulku." Dia mengusap-usap tubuh mendengkur yang membungkus badannya yang ramping.

"Itu mungkin ide yang bagus," kata Jullina, memeluk tas itu di pinggangnya. Dia mencondongkan tubuh ke arah pria di lorong sampai dia melihat ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit ular.

Mungkin dia akan singgah di Miami.


Cikarang, 19 November 2024


Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun