"Nah, sekarang, kau harus menelan barang-barangku." Ia memberi buaya itu berkas-berkas presentasinya, flash drive-nya, nasi goreng sisa, kacamata hitamnya, dan bolpoin keberuntungannya.
Dia mengambil bunga phuang malai yang kelopak bunga melati dan marigoldnya sudah rontok dari pangkal pohon dan melingkarkannya di moncong buaya itu. "Gigitlah," katanya dan buaya itu meraih karangan bunga itu dan menyelipkan moncongnya ke dalam kantong di dekat perutnya. Jullina mengambil buaya itu, yang sekarang menjadi tas jinjing berbonggol dengan pegangan bunga dan bergegas pergi mencari jalan ke bandara. Dia tidak memperhatikan tas kerjanya yang kosong melayang, atau ekor yang dengan bahagia menyembul dari pegangannya.
***
Seorang wisatawan memakai mantel bulu di sebelah Jullina membangunkannya ketika tanda sabuk pengaman menyala untuk turun ke Miami.
"Wah, tasmu bagus sekali," kata wanita itu. "Kamu belinya di Thailand?"
Jullina mengangguk dan menepuk bagian luar tas yang hangat dan lembap. Dia benci harus meninggalkan buaya itu di Florida, padahal dia membuat tas yang bagus. Lagipula, siapa lagi yang bisa mengklaim memiliki barang yang unik seperti itu?
Mungkin dia akan menyimpannya selama sebulan atau lebih, sampai dia bisa menemukan pengawet yang bagus. Dia bisa menghabiskan semua sisa makan siang yang tidak pernah dia habiskan.
"Boleh aku melihatnya sebentar?" tanya wanita itu.
"Kurasa itu bukan ide yang bagus," kata Jullina, ibu jarinya menelusuri salah satu gigi kuning melengkung tepat di bawah pegangan karangan bunga.
Ini memang tas yang unik.
"Sepertinya aku tidak akan bisa membawanya ke mana pun." Wanita itu mendengus pada dirinya sendiri, menunjuk ke kabin pesawat.