Kepalanya bergema seperti semangka jatuh saat menghantam lantai.
Sepuluh tahun sejak kematian ibunya, sekarang hampir setinggi dia. Dia menyeret tubuhnya yang tak sadarkan diri ke lemari es, mengangkatnya ke tepi, dan mendorongnya masuk. Melipat lengannya. Menyelipkan lututnya. Menutup pintu.
Kaitnya berbunyi klik.
Ketika ayahnya sadar, teriakan dan ancamannya, yang sekarang teredam dan lemah, tidak lagi berpengaruh. "Berbaringlah dengan tenang dan bernapaslah melalui lubang, Ayah," bisiknya sambil merobek selembar kain dari gaunnya dan menutup lubang.
Dan satu lagi.
Dan satu lagi.
***
Mereka menemukannya duduk telanjang di lantai ruang bawah tanah, lutut ditarik ke dagu, bergoyang maju mundur di samping kulkas.
Mata menatap. Bersenandung lirih, "Jangan buat aku melakukan ini lagi."Â
Gaunnya robek-robek. Robek-robek. Robek-robek menjadi benang.
***