Aku masuk. Mereka memberiku tanda peserta.
Aku bertanya pada diri sendiri, mengapa aku menghadiri reuni kampusku yang ketiga puluh lima? Beberapa orang yang belum mati sepertinya memang harusnya sudah mati.
Aku langsung keluar. Tidak ada cerita yang membosankan, makanan tak enak dan minuman murahan pemicu diabetes. Aku akan berkeliling kota, melihat apakah aku ingat sesuatu.
Aku ingat Koplo, tempat minum dekat kampus, dan pergi ke Jl. Selokan. Tentu, tempat itu ditutup bertahun-tahun yang lalu, tetap saja aku ingin melihatnya.
Bangunannya, gelap tapi ada cahaya yang menyinari dari pintu samping yang dulunya menuju ke bar di belakang. Ada musik. The Rolling Stones. Rock Blues. "You Can't Always Get What You Want."
Aku mendekat, menuruni tangga yang rusak dan memasuki ruangan yang penuh sesak. Pitcher dan mug bersliweran. Meja dan bilik dipenuhi dengan anak-anak kampus berambut panjang yang mengenakan bawahan dan kemeja ikat celup. Apakah ini pesta tahun enam puluhan? Aku tidak mengerti. Di tengah kebisingan aku mendengar, "Him, Him, sini!"
Aku menoleh. Dua orang melambai padaku. Aku menggelengkan kepala, memejamkan mata lalu membukanya perlahan. Mataku tak salah. Itu Zhul dan Wing.
Zhul teman kuliah seangkatan. Entah bagaimana, selama tiga puluh tahun yang diisi dengan pernikahan, perceraian, direkrut perusahaan besar, dipecat, pekerjaan baru, dan segala macam tetek bengek pernak pernik hidup tapi kami tetap berhubungan. Lima tahun lalu Zhul meninggal.
Wing? Begajulan satu indekos denganku dulu. Dia juga sudah tak ada, salah satu dari ribuan orang yang kembali dari Timtim dalam kantong mayat. Itulah mereka, tapi tidak mungkin. Mereka tampak masih muda, dan jelas mustahil.
Aku di sini, Â tapi entah kenapa.