Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pahlawan Masa Depan

13 Juni 2023   23:15 Diperbarui: 13 Juni 2023   23:34 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.syfy.com/syfy-wire/aftershock-comics-new-sci-fi-western-join-the-future

Menjadi pahlawan itu gampang. Hanya proses ajaib yang terjadi dengan---atau lebih mungkin tanpa---persetujuanmu, dan kamu berubah dari pria biasa dengan pekerjaan sebagai pialang properti menjadi seseorang yang akan menyelamatkan dunia pada akhirnya.

Hari di mana aku menjadi pahlawan dimulai sepertinya pada  hari Senin yang cerah di awal musim semi.

Bocah pengantar surat kabar Kompas Masa Depan lewat dan mengirimkan berita minggu depan ke tabletku. Aku berpura-pura menangkapnya, dan dia melambai, berbelok, dan hampir menabrak pagar tanaman rumahku.

Mengetuk layar dan tanpa sengaja memuntahkan kopiku ke dalam uap air mancur kabut yang pasti akan menodai jubah mandi putihku dengan ribuan titik kecil berwarna cokelat.

Wajah menyeringai Mahiwal Linukh---wajahku---sengan satu alis ke atas satu ke bawah, menyeringai ke arahku dari kolom utama Senin depan.

"Hei Mahiwal, selamat ya!" Tetanggaku Prima mengangkat tabletnya tinggi-tinggi dengan dua jari tangannya dan berulang kali menunjuknya dengan tunggul yang berbeda. "Sukses menyelamatkan dunia!"

Prima tertatih-tatih menuju ke arahku. "Kau tahu, aku pernah mencoba menyelamatkan dunia. Tapi, tidak pernah pulih. Trauma bekas luka perang. Tak bisa diperbaiki!"

Aku memindai tabletku dan membuka berita. Aku tidak mungkin menjawab pertanyaan tentang bagaimana aku melakukan apa yang belum kulakukan.

Aku merenung. Kompas Masa Depan tidak mungkin membuat tentang seorang sales properti yang diam-diam menyukai seorang gadis cantik.

Aku tinggal sendiri, membayar cicilan rumah bersubsidi, sarapan bubur ayam dan ngopi pojok dapur sambil berharap Ghea Romanova adalah istriku. Bukan seseorang yang terkenal.

Aku menghela nafas. Bagaimana aku bisa menikahi seorang gadis tak berani kuajak kencan?

Koran itu memberi isyarat, berisi artikel tentang aku di masa depan. Berita halaman depan. Apa yang akan aku lakukan? Dengan hati-hati, aku menggeser layar, mengetuk password 1234, dan membaca.

"Super Mahiwal, begitu dia minta dipanggil, pada hari Jumat menyelamatkan dunia sementara Anda bisa menggunakan diskon untuk belanja, berlaku---" 

Kesal karena penempatan iklan yang sembrono, aku mengguncang tablet. Iklan itu jatuh dari halaman tetapi ramalan cuaca naik untuk menggantikan kata-kata yang dibuang.

Sialan, apa yang aku lakukan?

Senin seharusnya santai! Aku akan duduk di sudut, membaca berita olahraga dari hari-hari mendatang, dan minum dua cangkir kopi. Satu untukku dan satu untuk---mendesahkan namanya---"Ghea."

Aku naksir Ghea sejak hari pertama aku melihatnya menaiki eskalator menuju lantai kantor properti di gedung Crametia Corporation.

Dengan sinar matahari yang menembus menara kaca, Ghea mencapai ujung eskalator. Tumit stiletto-nya tersangkut di mesin tangga jalan.

Seluruh eskalator selebar satu orang yang seperti ular terhenti. Semua orang di belakangnya maju ke depan. Dokumen, folder, dan kertas catatan tempel berwarna kuning jatuh berhamburan ke samping dan mengalir ke bawah, ke bawah, tiga puluh tingkat ke lobi. Hujan kertas, pikirku.

Aku membuka halaman dua dan memindai artikelku. Kalau benar aku menyelamatkan dunia seperti yang dikatakan Prima, Ghea pasti akan membawa hubungan kami ke tingkat berikutnya---atau tingkat dasar---dan pada akhirnya aku akan menjadi seseorang pahlawan dan seorang pahlawan selalu mendapatkan gadis impiannya, bukan?

Aku menemukan artikel itu dan lanjut membaca.

"... di Ngarai Sianok, Sumatra Barat pada hari Jumat, 19 Juni. Jumlah bayi baru lahir yang menyandang nama Mahiwal meningkat tujuh kali lipat. Dari satu menjadi delapan. Nantikan koran minggu depan untuk statistik lebih lanjut tentang nama-nama bayi dan kemungkinan acara khusus sepulang sekolah berdasarkan kehidupannya."

Aku ambruk ke kursi dapur dengan punggung lurus dan mendesah puas. Yah, setidaknya aku tahu lokasinya. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku harus membeli tiket ke Padang. Sangat tidak masuk akal. Apa sih yang aku lakukan di sana pada hari kerja?

Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku mengintip ke luar jendela dan menemukan kerumunan reporter MetroPolNews menyerbu halaman rumahku seperti gerombolan belalang. Mereka semua mencoba menembus perkampungan kumuh dengan jins hitam sobek dan resleting yang berzigzag ke atas dan ke bawah kaki celana dan, anehnya, beberapa memakai kemeja.

Menghadang mereka berdiri Prima, menangkis reporter yang paling memaksa, menawarkan tunggulnya sebagai pengganti jabat tangan yang tepat, lalu menertawakan wajah-wajah tertegun yang tertegun.

Dan kemudian, membelah lautan ritsleting dan denim, muncullah GheaCindy. Matahari mengirimkan seberkas cahaya melingkar yang bersinar, menemaninya ke depan pintu rumahku. Dia sudah hendak mengetuk, tetapi aku terlebih dulu membuka pintu untuk memperlihatkan diriku dalam jubah mandi dan mataku membelalak yang lebar.

Kamera digital menjepret disertai dengan suara rana antik.

"Aku mengerti kamu akan menyelamatkan dunia," kata Ghea, kata-katanya seperti musik.

"Iya," kataku, agak sedikit canggung. "Tapi orang biasa sepertiku tidak menyelamatkan dunia." aku mengangkat bahu. "Kompas itu bahkan tidak mengatakan bagaimana, atau apa yang kulakukan."

"Kalau begitu kurasa kita akan mencari tahu bersama," kata Ghea.

Lututku lemas dan aku bersandar pada kusen pintu untuk menenangkan diri. "Kamu ... ikut denganku?"

"Sebaiknya begitu, mengingat foto pernikahan kita ada di halaman lima belas. Maksudku, aku berharap kamu akan mengajakku kencan, tapi kurasa pernikahan juga tidak masalah."

Dia menyelinap ke depan ke ruang tamu dan aku mencium aroma parfum wangi sereh yang manis. Aku tidak bisa membayangkan akan melamarnya, tetapi ternyata di masa depan aku akan melakukannya.

Tetapi di mana?

Aku harus mencari tempat yang romantis, atau mungkin di Ngarai Sianok.

Ngarai Sianok! Di situlah aku akan menyelamatkan dunia.

Aku akan mengalami minggu yang luar biasa, pikirku, dan tentu saja aku mulai merasa seperti Super Mahiwal. Masa depanku sudah ditentukan, dan aku sedang dalam perjalanan untuk menjadi dia.

"Aku baru saja membuat sarapan." kataku, dengan nada turun satu oktaf. "Mau bergabung denganku?"

Dia mengangguk dan melangkah masuk.

Ketika aku melewatinya untuk menutup pintu, seorang reporter MetroPolNews menerobos barikade Prima dan mengarahkan kameranya. Aku menyeringai, dan mengangkat sebelah alis.

Lampu kilat menyambar.

Bandung, 13 Juni 2023

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun