"... di Ngarai Sianok, Sumatra Barat pada hari Jumat, 19 Juni. Jumlah bayi baru lahir yang menyandang nama Mahiwal meningkat tujuh kali lipat. Dari satu menjadi delapan. Nantikan koran minggu depan untuk statistik lebih lanjut tentang nama-nama bayi dan kemungkinan acara khusus sepulang sekolah berdasarkan kehidupannya."
Aku ambruk ke kursi dapur dengan punggung lurus dan mendesah puas. Yah, setidaknya aku tahu lokasinya. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Aku harus membeli tiket ke Padang. Sangat tidak masuk akal. Apa sih yang aku lakukan di sana pada hari kerja?
Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku mengintip ke luar jendela dan menemukan kerumunan reporter MetroPolNews menyerbu halaman rumahku seperti gerombolan belalang. Mereka semua mencoba menembus perkampungan kumuh dengan jins hitam sobek dan resleting yang berzigzag ke atas dan ke bawah kaki celana dan, anehnya, beberapa memakai kemeja.
Menghadang mereka berdiri Prima, menangkis reporter yang paling memaksa, menawarkan tunggulnya sebagai pengganti jabat tangan yang tepat, lalu menertawakan wajah-wajah tertegun yang tertegun.
Dan kemudian, membelah lautan ritsleting dan denim, muncullah GheaCindy. Matahari mengirimkan seberkas cahaya melingkar yang bersinar, menemaninya ke depan pintu rumahku. Dia sudah hendak mengetuk, tetapi aku terlebih dulu membuka pintu untuk memperlihatkan diriku dalam jubah mandi dan mataku membelalak yang lebar.
Kamera digital menjepret disertai dengan suara rana antik.
"Aku mengerti kamu akan menyelamatkan dunia," kata Ghea, kata-katanya seperti musik.
"Iya," kataku, agak sedikit canggung. "Tapi orang biasa sepertiku tidak menyelamatkan dunia." aku mengangkat bahu. "Kompas itu bahkan tidak mengatakan bagaimana, atau apa yang kulakukan."
"Kalau begitu kurasa kita akan mencari tahu bersama," kata Ghea.
Lututku lemas dan aku bersandar pada kusen pintu untuk menenangkan diri. "Kamu ... ikut denganku?"