Pukul setengah delapan ketika terbangun keesokan paginya, aku suara cangkir dan sendok beradu dari dapur. Bu Sulis, pembantu harian yang bekerja untukku, sedang menyeduh teh hijau. Aromanya tercium saat aku meraih sebatang rokok dari kotak di meja samping tempat tidur.
Aku harus memikirkan banyak hal yang harus dilakukan dan kebiasanku adalah melakukan sebagian besar pemikiran konstruktif di tempat tidur.
Sudah pasti pembunuhan di sebuah apartemen mewah harus menjadi tajuk utama koran pagi dan aku memutuskan untuk melihat apakah ada perkembangan baru. Saat hendak memanggil Bu Sulis untuk membawakan koran dan teh untukku ke tempat tidur, bel pintu depan berbunyi.
Bu Sulis bergegas ke ruang depan, terengah-engah seperti biasanya. Kemudian dia kembali, mengetuk pintuku.
Ada tamu yang mencari Bapak."
Biasanya dia menyebutku "Mas Handaka," kecuali dia ingin membuat tamuku terkesan. Belakangan, ini adalah kreditur yang terkait dengan bisnisku yang sudah bangkrut. Hanya namaku di lembar cek yang membuat mereka terkesan.
Sambil menggerutu, kakiku meraba-raba mencari sandal kamar. Menyeret kimono handuk dan hanya berhenti sejenak di depan cermin untuk menyisir rambut dan menyelipkan kotak rokok ke dalam saku.
Bu Sulis sedang berdiri di luar pintu kamar, ekspresi cemas tergambar di wajahnya yang biasanya ceria.
"Polisi berpakaian preman," desisnya. "Dari baunya yang sengak sudah ketahuan."
Ini dia. Sambil memasukkan tanganku ke dalam saku kimono, aku berjalan santai ke ruang tamu. Seorang pria jangkung, dengan rambut yang disisir rapi, uban di kedua sisinya, mengenakan setelan gelap dan dasi abu-abu, mengawasi dengan pandangan bingung, jelas waspada terhadap apa pun yang mungkin dianggap mencurigakan.