Saat kembali ke apartemenku dari Shanghai, suara dering telepon terdengar dari tangga naik. Aku buru-buru berlari melompati dua anak tangga sekaligus. Bukannya aku mengharapkan panggilan, hanya saja aku termasuk salah satu dari orang-orang yang penasaran jika telepon berhenti berdering sebelum mengetahui tujuan sang penelepon. Nyaris mendobrak pintu masuk, aku melompat ke meja dan meraih gagang telepon.
"Halo? Handaka Jaya di sini," kataku terengah-engah.
"Sebuah suara wanita yang rendah dan terkendali berkata, "Ini Ranya Vachel. Anda terdengar seperti baru saja lari marathon."
Aku tertawa. "Terlalu banyak merokok. Senang mendengar suaramu lagi. Bagaimana kabarmu? Apakah perjalananmu kembali ke tanah air lancar-lancar saja?"
"Ya, sangat menyenangkan." Aku membayangkannya tersenyum saat dia melanjutkan, "Saya ingin mengundang Anda untuk dinner malam ini. Maaf kalau mendadak, tapi apakah Anda akan datang?"
"Tentu saja. Dengan senang hati."
"Tunangan saya, Yudhi Salim, akan hadir. Dia ingin bertemu dengan Anda."
"Bagus. Jam berapa aku harus datang?"
Dia ragu-ragu. "Setengah delapan tidak apa-apa?"
"Baiklah."
Dia tertawa kecil "Hampir lupa. Anda belum tahu di mana saya tinggal. Mediterania Lagoon Lt. 21, Kemayoran, Bisakah Anda mengingatnya?"
"Ya, akan kucatat."
"Saya akan menantikan kedatangan Anda kalau begitu. Selamat sore."
"Selamat sore."
Aku meletakkan gagang telepon sambil berpikir, bertanya-tanya mengapa dia tiba-tiba menelepon.
Mengapa tunangannya ingin bertemu denganku? Apa gunanya? Mungkinkah ada hubungan dengan kecelakaan mobil yang menewaskan Banyu Putih?
Aku ragu-ragu, bertanya-tanya dalam hati apakah aku harus menelepon Joko Seng. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak melakukannya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H