Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gigi Warisan

22 Januari 2023   21:47 Diperbarui: 22 Januari 2023   21:58 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.nezavisne.com/zivot-stil/zivot/Pravi-vampiri-zaista-postoje/154745

Tuan Renfield berjalan tertatih-tatih melewati pintu depan tempat praktikku saat matahari terbenam. Seorang pria jangkung muram dengan wajah kusam karena usia dan penyakit.

Dia bersandar pada tongkat yang terbuat dari gading gajah, dan napasnya tersengal-sengal seperti bunyi dahan menggaruk kaca jendela. Mantelnya kotor. Rompi di bawahnya sudah usang dan pudar, dan saputangan sutra yang ditekannya ke mulutnya berlumuran darah kering.

"Tuan Renfield," kataku. "Anda seharusnya tidak keluar dalam cuaca seperti ini. Dinginnya hanya akan memperburuk kondisimu."

Renfield mengabaikan kata-kataku. "Apakah kamu memilikinya, Dokter Bram?" Suaranya kokoh derit pintu besi meski kesehatannya menurun.

Jujur saja, aku malu untuk mengatakan bahwa diam-diam aku berharap Tuan Renfield meninggal sebelum dia dapat mengambil pesanannya, tidak peduli bahwa aku sangat membutuhkan uangnya.

"Aku memilikinya."

"Perlihatkan padaku." Dia beringsut ke konter kaca tempat aku menyimpan contoh gigi palsu yang kubawa. Dia tertarik pada gigi, tapi bukan yang biasa kujual ke pasienku.

Aku meletakkan kotak kayu jati di meja dan membuka tutupnya. Di dalamnya terdapat satu set gigi palsu, putih gading, bentuknya sempurna kecuali pada gigi taring . Melihatnya saja membuatku mual, karena membangkitkan kenangan yang telah kukubur sejak dulu.

Mata Tuan Renfield yang berwarna hijau lumpur---warna benda-benda yang sekarat dan membusuk--- membelalak, dan bibirnya membentuk seulas senyum tipis. Ekspresi yang tidak pas di wajahnya yang kurus.

"Apakah itu benar-benar punyanya?"

"Ya. Semua yang tersisa." Aku menutup kotak itu dan menariknya. "Masih ada masalah pembayaran, Tuan Renfield."

Dia memelototiku tetapi merogoh mantelnya dan meletakkan tas sutra kecil di meja. Aku membukanya dan ratusan berlian kecil yang sempurna berkilau di dalamnya. Renfield merupakan pemilik tambang berlian di Afrika. Kekayaannya sangat besar, dan dia membutuhkan sumber daya itu untuk meyakinkanku agar mau berpisah dengan satu hal berharga yang kumiliki.

"Cukup untuk menjalankan praktik kecilmu ini sampai abad berikutnya kalau kamu mau," Tuan Renfield melihat sekeliling ke kantorku yang lusuh. "Kamu akan memasang giginya sekaligus."

"Ada risikonya," kataku. "Tubuh Anda lemah dan--"

"Kamu sudah mendapatkan bayaranmu. Sekarang lakukan apa yang kuminta." Dia memukulkan tongkatnya ke lantai. Ini bukan orang yang terbiasa dibantah.

Aku mengesampingkan keraguan dan rasa takutku, dan memasukkan kantung berlian ke dalam mantelku.

"Ikut aku."

***

Tuan Renfield duduk bersandar di kursi dokter gigiku. Kepala ke belakang, mulut terbuka. Untuk pria seusianya, giginya dalam kondisi yang sangat baik.

"Tuan Renfield, aku harus mencabut gigi aslimu untuk memasang gigi palsu ini," kataku. "Akan ada rasa sakit yang luar biasa, tetapi dengan usia dan kesehatan Anda, aku tidak bisa mengambil risiko dengan anestesi."

Dia tertawa, pendek dan tajam. "Paru-paruku dimakan tumor dari dalam. Aku terbangun setiap pagi dan batuk hinga muntah darah, lalu menghabiskan hariku dengan penderitaan yang hampir tak tertahankan. Cabut giginya, Dokter, dan jangan khawatir tentangku."

Aku mulai dengan gigi seri di rahang bawah. Akar gigi seperti itu lurus dan berbentuk kerucut, sehingga memudahkan pencabutan. Tuan Renfield sama sekali tidak tersentak saat tang meremukkan enamel, juga tidak berkedut ketika aku memutar gigi dari gusinya. Secara metodis, aku menarik sisanya, dan wajahnya tetap diam bagai topeng, meski mulutnya bersimbah darah.

Setelah selesai, aku mendorong gigi palsu ke dalam mulutnya. Umumnya, gigi tiruan harus dipasang sesuai pesanan. Alas dibentuk mengikuti kontur mulut pasien. Apa yang kulakukan untuk Tuan Renfield tidak memerlukan persiapan seperti itu. Gigi palsu itu membenam langsung ke gusinya, menyerap darah yang menggenang.

Dia bergidik dan napasnya yang terengah-engah berhenti. Dia tidak bernapas, dan tidak akan pernah lagi.

Dia belum mati, tentu saja, tapi menjadi sesuatu yang jauh lebih buruk. 

Mata Tuan Renfield terbuka, dan dia berkedip, sekali, dua kali, lalu duduk. Wajahnya berubah menjadi putih pucat yang tidak biasa. Kulitnya menjadi lebih kencang, lebih halus, memberinya penampilan awet muda. Matanya berubah dari hijau menjijikkan menjadi merah kecokelatan, seperti darah tua.

"Aku merasa ..." katanya, mengangkat tangannya ke wajahnya. Jari-jarinya menjadi lebih panjang, lebih tipis. Kuku-kukunya meruncing. "...Kuat."

Dia melompat dari kursi bersorak kegirangan. Tubuhnya bergetar penuh dengan energi.

Aku melangkah mundur dan membuka dua kancing teratas kemejaku. Dia berbalik, mata barunya dipenuhi dengan keinginan, kebutuhan. Lapar.

"Kamu tahu, Dokter, aku melakukan beberapa penelitian tentangmu," katanya. "Stoker adalah nama keluarga ibumu."

Aku mundur selangkah lagi, menuju pintu. "Benar. Nama ayahku mengandung arti tertentu yang membawa nasib buruk."

"Tapi nama yang berpengaruh," kata Tuan Renfield, mengikutiku. "Van Helsing."

Nama ayahku meluncur dari lidahnya seperti kutukan.

Aku merogoh bajuku dan melepas salib emas. Tuan Renfield tersentak. Bibirnya terbuka memamerkan gigi taring barunya yang panjang dan runcing.

"Urusan kita sudah berakhir," kataku sambil mengacungkan salib, menjaga jarak di antara kami.

Seringai mengerikan Tuan Renfield berubah menjadi senyuman. "Tentu saja, Dokter."

Dia memutar menjauh dariku dan pindah ke pintu. "Aku harap kamu tidak meneruskan profesi ayahmu."

Aku tertawa, tetapi bukan jenis tawa ayahku. Hanya tawa kepahitan dan kesedihan.

"Profesi ayahku membuat kami bangkrut. Dia meninggal sebagai bahan lelucon dan miskin. Aku tidak punya keinginan untuk mengikuti jejaknya. Sekarang pergi."

Tuan Renfield meninggalkan tempat praktikku. Punggungnya tegak, gaya berjalannya cepat dan pasti seperti hewan buas yang mengintai mangsa.

Aku menggenggam salib ayahku dan melihatnya menghilang di malam hari. Sekantong berlian di mantelku beratnya bagai tiga puluh keping perak Judas.

Bandung, 22 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun